Kamis, 18 Juni 2009

DITINJAU DARI SEJARAH PERKEMBANGAN SERTA PERANANNYA DALAM MENUNJANG PENDIDIKAN KEPRIBADIAN BANGSA

Oleh :
Sutini. BA

SEJARAH PERKEMBANGAN KESENIAN WAYANG

Kesenian wayang dalam bentuknya yang asli timbul sebelum kebudayaan Hindu masuk di Indonesia dan mulai berkembang pada jaman Hindu Jawa.
Pertunjukan Kesenian wayang adalah merupakan sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animisme dan dynamisme. Tentang asal-usul kesenian wayang hingga dewasa ini masih merupakan suatu masalah yang belum terpecahkan secara tuntas. Namun demikian banyak para ahli mulai mencoba menelusuri sejarah perkembangan wayang dan masalah ini ternyata sangat menarik sebagai sumber atau obyek penelitian. Menurut Kitab Centini, tentang asal-usul wayang Purwa disebutkan bahwa kesenian wayang, mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Mamenang / Kediri. Sektar abad ke 10 Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya dan digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari gambaran relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar. Ceritera Ramayana sangat menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa Wisnu yang setia, bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Batara Wisnu. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.

Masa berikutnya yaitu pada jaman Jenggala, kegiatan penciptaan wayang semakin berkembang. Semenjak Raja Jenggala Sri Lembuami luhur wafat, maka pemerintahan dipegang oleh puteranya yang bernama Raden Panji Rawisrengga dan bergelar Sri Suryawisesa. Semasa berkuasa Sri Suryawisesa giat menyempurnakan bentuk wayang Purwa. Wayang-wayang hasil ciptaannya dikumpulkan dan disimpan dalam peti yang indah. Sementara itu diciptakan pula pakem ceritera wayang Purwa. Setiap ada upacara penting di istana diselenggarakan pagelaran Wayang Purwa dan Sri Suryawisesa sendiri bertindak sebagal dalangnya.

Para sanak keluarganya membantu pagelaran dan bertindak sebagai penabuh gamelan. Pada masa itu pagelaran wayang Purwa sudah diiringi dengan gamelan laras slendro. Setelah Sri Suryawisesa wafat, digantikan oleh puteranya yaitu Raden Kudalaleyan yang bergelar Suryaamiluhur. Selama masa pemerintahannya beliau giat pula menyempurnakan Wayang. Gambar-gambar wayang dari daun lontar hasil ciptaan leluhurnya dipindahkan pada kertas dengan tetap mempertahankan bentuk yang ada pada daun lontar. Dengan gambaran wayang yang dilukis pada kertas ini, setiap ada upacara penting di lingkungan kraton diselenggarakan pagelaran wayang.

Pada jaman Majapahit usaha melukiskan gambaran wayang di atas kertas disempurnakan dengan ditambah bagian-bagian kecil yang digulung menjadi satu. Wayang berbentuk gulungan tersebut, bilamana akan dimainkan maka gulungan harus dibeber. Oleh karena itu wayang jenis ini biasa disebut wayang Beber. Semenjak terciptanya wayang Beber tersebut terlihat pula bahwa lingkup kesenian wayang tidak semata-mata merupakan kesenian Kraton, tetapi malah meluas ke lingkungan diluar istana walaupun sifatnya masih sangat terbatas. Sejak itu masyarakat di luar lingkungan kraton sempat pula ikut menikmati keindahannya. Bilamana pagelaran dilakukan di dalam istana diiringi dengan gamelan laras slendro. Tetapi bilamana pagelaran dilakukan di luar istana, maka iringannya hanya berupa Rebab dan lakonnya pun terbatas pada lakon Murwakala, yaitu lakon khusus untuk upacara ruwatan. Pada masa pemerintahan Raja Brawijaya terakhir, kebetulan sekali dikaruniai seorang putera yang mempunyai keahlian melukis, yaitu Raden Sungging Prabangkara. Bakat puteranya ini dimanfaatkan oleh Raja Brawijaya untuk menyempurkan wujud wayang Beber dengan cat. Pewarnaan dari wayang tersebut disesuaikan dengan wujud serta martabat dari tokoh itu, yaitu misalnya Raja, Kesatria, Pendeta, Dewa, Punakawan dan lain sebagainya. Dengan demikian pada masa akhir Kerajaan Majapahit, keadaan wayang Beber semakin Semarak. Semenjak runtuhnya kerajaan Majapahit dengan sengkala ; Geni murub siniram jalma ( 1433 / 1511 M ), maka wayang beserta gamelannya diboyong ke Demak. Hal ini terjadi karena Sultan Demak Syah Alam Akbar I sangat menggemari seni kerawitan dan pertunjukan wayang.

Pada masa itu sementara pengikut agama Islam ada yang beranggapan bahwa gamelan dan wayang adalah kesenian yang haram karena berbau Hindu. Timbulnya perbedaan pandangan antara sikap menyenangi dan mengharamkan tersebut mempunyai pengaruh yang sangat penting terhadap perkembangan kesenian wayang itu sendiri. Untuk menghilangkan kesan yang serba berbau Hindu dan kesan pemujaan kepada arca, maka timbul gagasan baru untuk menciptakan wayang dalam wujud baru dengan menghilangkan wujud gambaran manusia. Berkat keuletan dan ketrampilan para pengikut Islam yang menggemari kesenian wayang, terutama para Wali, berhasil menciptakan bentuk baru dari Wayang Purwa dengan bahan kulit kerbau yang agak ditipiskan dengan wajah digambarkan miring, ukuran tangan di-buat lebih panjang dari ukuran tangan manusia, sehingga sampai dikaki. Wayang dari kulit kerbauini diberi warna dasar putih yang dibuat dari campuran bahan perekat dan tepung tulang, sedangkan pakaiannya di cat dengan tinta.

Pada masa itu terjadi perubahan secara besar- besaran diseputar pewayangan. Disamping bentuk wayang baru, dirubah pula tehnik pakelirannya, yaitu dengan mempergunakan sarana kelir / layar, mempergunakan pohon pisang sebagai alat untuk menancapkan wayang, mempergunakan blencong sebagai sarana penerangan, mempergunakan kotak sebagai alat untuk menyimpan wayang. Dan diciptakan pula alat khusus untuk memukul kotak yang disebut cempala. Meskipun demikian dalam pagelaran masih mempergunakan lakon baku dari Serat Ramayana dan Mahabarata, namun disana- sini sudah mulai dimasukkan unsur dakwah, walaupun masih dalam bentuk serba pasemon atau dalam bentuk lambang-lambang. Adapun wayang Beber yang merupakan sumber, dikeluarkan dari pagelaran istana dan masih tetap dipagelarkan di luar lingkungan istana.

Pada jaman pemerintahan Sultan Syah Alam Akbar III atau Sultan Trenggana, perwujudan wayang kulit semakin semarak. Bentuk-bentuk baku dari wayang mulai diciptakan. Misalnya bentuk mata, diperkenalkan dua macam bentuk liyepan atau gambaran mata yang mirip gabah padi atau mirip orang yang sedang mengantuk. Dan mata telengan yaitu mata wayang yang berbentuk bundar. Penampilan wayang lebih semarak lagi karena diprada dengan cat yang berwarna keemasan.

Pada jaman itu pula Susuhunan Ratu Tunggal dari Giri, berkenan menciptakan wayang jenis lain yaitu wayang Gedog. Bentuk dasar wayang Gedog bersumber dari wayang Purwa. Perbedaannya dapat dilihat bahwa untuk tokoh laki-laki memakai teken. Lakon pokok adalah empat negara bersaudara, yaitu Jenggala, Mamenang / Kediri, Ngurawan dan Singasari. Menurut pendapat Dr. G.A.J. Hazeu, disebutkan bahwa kata "Gedog" berarti kuda. Dengan demikian pengertian dari Wayang Gedog adalah wayang yang menampilkan ceritera-ceritera Kepahlawanan dari "Kudawanengpati"atau yang lebih terkenal dengan sebutan Panji Kudhawanengpati. Pada pagelaran wayang Gedog diiringi dengan gamelan pelog. Sunan Kudus salah seorang Wali di Jawa menetapkan wayang Gedog hanya dipagelarkan di dalam istana. Berhubung wayang Gedog hanya dipagelarkan di dalam istana, maka Sunan Bonang membuat wayang yang dipersiapkan sebagai tontonan rakyat, yaitu menciptakan wayang Damarwulan . Yang dijadikan lakon pokok adalah ceritera Damarwulan yang berkisar pada peristiwa kemelut kerajaan Majapahit semasa pemerintahan Ratu Ayu Kencana Wungu, akibat pemberontakan Bupati Blambangan yang bernama Minak Jinggo.

Untuk melengkapi jenis wayang yang sudah ada, Sunan Kudus menciptakan wayang Golek dari kayu. Lakon pakemnya diambil dari wayang Purwa dan diiringi dengan gamelan Slendro, tetapi hanya terdiri dari gong, kenong, ketuk, kendang, kecer dan rebab. Sunan Kalijaga tidak ketinggalan juga, untuk menyemarakkan perkembangan seni pedalangan pada masa itu dengan menciptakan Topeng yang dibuat dari kayu. Pokok ceriteranya diambil dari pakem wayang Gedog yang akhirnya disebut dengan topeng Panji. Bentuk mata dari topeng tersebut dibuat mirip dengan wayang Purwa. Pada masa Kerajaan Mataram diperintah oleh Panembahan Senapati atau Sutawijaya, diadakan perbaikan bentuk wayang Purwa dan wayang Gedog. Wayang ditatah halus dan wayang Gedog dilengkapi dengan keris.
Disamping itu baik wayang Purwa maupun wayang Gedog diberi bahu dan tangan yang terpisah dan diberi tangkai. Pada masa pemerintahan Sultan Agung Anyakrawati, wayang Beber yang semula dipergunakan untuk sarana upacara ruwatan diganti dengan wayang Purwa dan ternyata berlaku hingga sekarang. Pada masa itu pula diciptakan beberapa tokoh raksasa yang sebelumnya tidak ada, antara lain Buto Cakil. Wajah mirip raksasa, biasa tampil dalam adegan Perang Kembang atau Perang Bambangan.

Perwujudan Buta Cakil ini merupakan sengkalan yang berbunyi: Tangan Jaksa Satataning Jalma ( 1552 J / 1670 M ). Dalam pagelaran wayang Purwa tokoh Buta Cakil merupakan lambang angkara murka. Bentuk penyempurnaan wayang Purwa oleh Sultan Agung tersebut diakhiri dengan pembuatan tokoh raksasa yang disebut Buta Rambut Geni, yaitu merupakan sengkalan yang berbunyi Urubing Wayang Gumulung Tunggal: ( 1553 J / 1671 M ). Sekitar abad ke 17, Raden Pekik dari Surabaya menciptakan wayang Klitik, yaitu wayang yang dibuat dari kayu pipih, mirip wayang Purwa. Dalam pagelarannya dipergunakan pakem dari ceritera Damarwulan, pelaksanaan pagelaran dilakukan pada siang hari.
Pada tahun 1731 Sultan Hamangkurat I menciptakan wayang dalam bentuk lain yaitu wayang Wong. Wayang wong adalah wayang yang terdiri dari manusia dengan mempergunakan perangkat atau pakaian yang dibuat mirip dengan pakaian yang ada pada wayang kulit.

Dalam pagelaran mempergunakan pakem yang berpangkal dari Serat Ramayana dan Serat Mahabarata. Perbedaan wayang Wong dengan wayang Topeng adalah ; pada waktu main, pelaku dari wayang Wong aktif berdialog; sedangkan wayang Topeng dialog para pelakunya dilakukan oleh dalang.
Pada jaman pemerintahan Sri Hamangkurat IV; beliau dapat warisan Kitab Serat Pustakaraja Madya dan Serat Witaraja dari Raden Ngabehi Ranggawarsito. Isi buku tersebut menceriterakan riwayat Prabu Aji Pamasa atau Prabu Kusumawicitra yang bertahta di negara Mamenang / Kediri.
Kemudian pindah Kraton di Pengging. Isi kitab ini mengilhami beliau untuk menciptakan wayang baru yang disebut wayang Madya. Ceritera dari Wayang Madya dimulai dari Prabu Parikesit, yaitu tokoh terakhir dari ceritera Mahabarata hingga Kerajaan Jenggala yang dikisahkan dalam ceritera Panji.
Bentuk wayang Madya, bagian atas mirip dengan wayang Purwa, sedang bagian bawah mirip bentuk wayang gedog. Semasa jaman Revolusi fisik antara tahun 1945 - 1949, usaha untuk mengumandangkan tekad pejuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dilakukan dengan berbagai cara.

Salah satu usaha ialah melalui seni pedalangan. Khusus untuk mempergelarkan ceritera- ceritera perjuangan tersebut, maka diciptakanlah wayang Suluh.
Wayang Suluh berarti wayang Penerangan, karena kata Suluh berarti pula obor sebagai alat yang biasa dipergunakan untuk menerangi tempat yang gelap. Bentuk wayang Suluh, baik potongannya maupun pakaiannya mirip dengan pakaian orang sehari-hari.
Bahan dipergunakan untuk membuat wayang Suluh ada yang berasal dari kulit ada pula yang berasal dari kayu pipih. Ada sementara orang berpendapat bahwa wayang suluh pada mulanya lahir di daerah Madiun yang di ciptakan oleh salah seorang pegawai penerangan dan sekaligus sebagai dalangnya. Tidak ada bentuk baku dari wayang Suluh, karena selalu mengikuti perkembangan jaman. Hal ini disebabkan khususnya cara berpakaian masyarakat selalu berubah, terutama para pejabatnya .

PERANAN WAYANG DALAM MENUNJANG PENDIDIKAN KEPRIBADIAN BANGSA.

Secara lahiriah, kesenian wayang merupakan hiburan yang mengasyikkan baik ditinjau dari segi wujud maupun seni pakelirannya. Namun demikian dibalik apa yang tersurat ini terkandung nilai adiluhung sebagai santapan rohani secara tersirat.
Peranan seni dalam pewayangan merupakan unsur dominan. Akan tetapi bilamana dikaji secara mendalam dapat ditelusuri nilai-nilai edukatif yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Unsur-unsur pendidikan tampil dalam bentuk pasemon atau perlambang. Oleh karena itu sampai dimana seseorang dapat melihat nilai- nilai tersebut tergantung dari kemampuan menghayati dan mencerna bentuk-bentuk simbol atau lambang dalam pewayangan. Dalam lakon-lakon tertentu misalnya baik yang diambil dari Serat Ramayana maupun Mahabarata sebenarnya dapat diambil pelajaran yang mengandung pendidikan. Bagaimana peranan Kesenian Wayang sebagai sarana penunjang Pendidikan Kepribadian Bangsa, rasanya perlu mendapat tinjauan secara khusus. Berdasarkan sejarahnya, kesenian wayang jelas lahir di bumi Indonesia. Sifat local genius yang dimiliki bangsa Indonesia, maka secara sempurna terjadi pembauran kebudayaan asing, sehingga tidak terasa sifat asingnya.

Berbicara kesenian wayang dalam hubungannya dengan Pendidikan Kepribadian Bangsa tidak dapat lepas dari pada tinjauan kesenian wayang itu sendiri dengan falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila sebagai falsafah negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, merupakan ciri khusus yang dapat membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain. Pancasila adalah norma yang mengatur tingkah laku dan perikehidupan bangsa. Menurut TAP MPR - Rl No. II/ MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara ; disitu ditandaskan bahwa untuk mewujudkan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. perlu menetapkan Ketetapan yang mengatur Garis- Garis Besar Haluan Negara yang didasarkan atas aspirasi dan Kepribadian Bangsa demi penghayatan dan pengamalan kehidupan kenegaraan yang demokratis - konstitusional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Pengertian Kepribadian Bangsa adalah suatu ciri khusus yang konsisten dari bangsa Indonesia yang dapat memberikan identitas khusus, sehingga secara jelas dapat dibedakan dengan bangsa lain. Rumusan Pancasila secara resmi ditetapkan dengan syah sebagai falsafah Negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia sejak berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4 tercanang rumusan Pancasila yang berbunyi:

Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia. dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jiwa Pancasila seperti yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, bukanlah masalah yang baru dalam dunia pewayangan.

* Asas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam dunia pewayangan dikenal tokoh yang biasa disebut "Hyang Suksma Kawekas" Tokoh ini tidak pernah diwujudkan dalam bentuk wayang, tetapi diakui sebagai Dewa yang Tertinggi. Tokoh Dewa - Dewa yang diwujud kan dalam bentuk wayang, misalnya: Batara Guru, Batara Narada, Batara Wisnu, Batara Brahma, Batara Kamajaya dan lain sebagainya dalam pewayangan digambarkan seperti manusia biasa. Mereka juga dilukiskan memiliki watak serta tabiat yang banyak persamaannya dengan manusia lumrah. Dalam ceritera-ceritera mereka sering pula berbuat salah, bahkan tidak jarang terpaksa minta bantuan manusia dalam menghadapi hal-hal tertentu. Kekawin Arjunawiwaha misalnya, merupakan contoh yang jelas. Pada saat raksasa Nirwatakawaca mengamuk di Suralaya karena maksudnya meminang Dewi Supraba ditolak para Dewa. Para Dewa tidak mampu menghadapinya. Untuk mengamankan Suralaya para Dewa minta bantuan bagawan Mintaraga atau bagawan Ciptaning yaitu nama Arjuna saat menjadi pertapa. Sebagai imbalan jasa karena bagawan Ciptaning berhasil membunuh Raksasa Nirwatakawaca diberi hadiah Dewi Supraba dan Pusaka Pasopati. Disini terlihat bahwa kebenaran yang bersifat mutlak hanya dimiliki Dewa Tertinggi yaitu Hyang Suksma Kawekas. Ajaran ini tidak jauh berbeda dengan ajaran yang terkandung di dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa
* Asas Kemanusiaan.

Jiwa yang terkandung dalam sila Kemanusiaan, pada hakekatnya suatu ajaran untuk mengagung-agungkan norma-norma kebenaran. Bahwasanya kebenaran adalah di atas segala- galanya. Kendatipun kebenaran mutlak hanya berada di tangan Tuhan Yang Maha Esa, namun untuk menjaga keseimbangan kehidupan antara manusia perlu dipupuk kesadaran tenggang rasa yang besar.
Kebenaran yang sejati mempunyai sifat unifersil, artinya berlaku kapan saja, dimana saja dan oleh siapapun Juga. Tokoh dalam dunia pewayangan yang memiliki sifat dan watak mengabdi kebenaran banyak jumlahnya. Sebagai contoh dapat dipetik dari Serat Ramayana. Di dalam Serat Ramayana dikenal putera Alengka bernama Raden Wibisono yang mempunyai watak mencerminkan ajaran kemanusiaan.
Kisah inti dalam Serat Ramayana berkisar pada kemelut yang terjadi di antara Prabu Dasamuka yang merampas isteri Rama. Tindakan Prabu Dasamuka ini dinilai berada diluar batas kemanusiaan. Raden Wibisono sadar akan hal tersebut, Prabu Dasamuka dianggap melanggar norma perikemanusiaan . Oleh karena itu Raden Wibisono ikut aktif membantu Raden Rama untuk memerangi saudaranya sendiri. Demi kemanusiaan Raden Wibisono rela mengorbankan saudara sendiri yang dianggap berada difihak yang salah.
* Asas Persatuan

Dalam dunia pewayangan tokoh yang memilih jiwa kebangsaan tinggi terlukis pada diri tokoh Kumbakarna digambarkan dalam bentuk raksasa, namun memiliki jiwa ksatria. Sebagai adik Raja Dasamuka, Kumbakarna memiliki sifat yang berbeda. Kumbakarna menentang tindakan Prabu Dasamuka yang merampas Dewi Sinta isteri Rama.
Sikap menentang sama dengan sikap Raden Wibisono, tetapi jalan yang ditempuh berbeda. Raden Wibisono menentang dengan aktif memihak Raden Rama, tetapi Kumbakarna tetap berfihak Alengka demi negaranya. Niatnya bukan perang membela kakaknya, tetapi bagaimanapun juga Alengka adalah negaranya yang wajib dibela walaupun harus mengorbankan jiwa raga.
Oleh karena itu nama Kumbakarna tercanang sebagai nasionalis yang sejati. Benar atau salah Alengka adalah negaranya.
* Asas Kerakyatan / Kedaulatan rakyat.

Dalam dunia pewayangan dikenal tokoh punakawan yang bernama Semar. Semar adalah punakawan dari para ksatria yang luhur budinya dan baik pekertinya. Sebagai punakawan Semar adalah abdi, tetapi berjiwa pamong, sehingga oleh para ksatria Semar dihormati.
Penampilan tokoh Semar dalam pewayangan sangat menonjol. Walaupun dalam kehidupan sehari-hari tidak lebih dari seorang abdi, tetapi pada saat-saat tertentu Semar sering berperan sebagai seorang penasehat dan penyelamat para ksatria disaat menghadapi bahaya baik akibat ulah sesama manusia maupun akibat ulah para Dewa. Dalam pewayangan tokoh Semar sering dianggap sebagai Dewa yang ngejawantah atau Dewa yang berujud manusia. Menurut Serat Kanda dijelaskan bahwa Semar sebenarnya adalah anak Syang Hyang Tunggal yang semula bernama Batara Ismaya saudara tua dari Batara Guru.
Semar sebagai Dewa yang berujud manusia mengemban tugas khusus menjaga ketenteraman dunia dalam penampilan sebagai rakyat biasa. Para ksatria utama yang berbudi luhur mempunyai keyakinan bilamana menurut segala nasehat Semar akan mendapatkan kebahagiaan. Semar dianggap memiliki kedaulatan yang hadir ditengah-tengah para ksatria sebagai penegak kebenaran dan keadilan. Dengan kata lain Semar adalah simbul rakyat yang merupakan sumber kedaulatan bagi para ksatria atau yang berkuasa.
* Asas Keadilan Sosial

Unsur keadilan dalam dunia pewayangan dilambangkan dalam diri tokoh Pandawa. Pandawa yang terdiri dari Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa secara bersama- sama memerintah Negara Amarta. Kelimanya digambarkan bersama bahagia dan bersama-sama menderita Tiap-tiap tokoh Pandawa mempunyai ciri watak yang berlainan antara satu dengan lainnya, namun dalam segala tingkah lakunya selalu bersatu dalam menghadapi segala tantangan. Puntadewa yang paling tua sangat terkenal sebagai raja yang adil dan jujur ; bahkan diceriterakan berdarah putih. Puntadewa dianggap titisan Dewa Dharma yang memiliki watak menonjol selalu mementingkan kepentingan orang lain, rasa sosialnya sangat besar.

Di ruang Pameran Tetap Museum Negeri Propinsi Jawa Timur Mpu Tantular juga menampilkan Koleksi Wayang Koleksi Wayang bisa dilihat di Ruang VII yaitu Ruang Koleksi Kesenian

Jenis Koleksi Wayang yang dipamerkan:

1. Wayang Gedog
Koleksi yang dipamerkan:
1. Raden Panji Inukertapab
2. Raden Panji Sinompradopo
3. Bancak
4. Doyok
5. Prabu Lembu Amiluhur
6. Aryo Joyosasono
7. Aryo Joyonagoro
2. Wayang Purwo Jawa timur
Koleksi yang dipamerkan:
1. Puntodewo
2. Arjuno
3. Werkudoro
4. Kresno
5. Sencaki
6. Suyudono
7. Sengkuni
8. Dursosono
9. Bolodewo
10. Karno
3. Wayang Purwo Jawa Tengah
Koleksi yang dipamerkan:
1. Puntodewo
2. Arjuno
3. Nakulo
4. Sadewo
5. Werkudoro
6. Kresno
7. Suyudono
8. Dursosono
9. Indrajid
10. Kombokarno
4. Wayang Kulit Bangkalan
Koleksi yanq dipamerkan:
1. Rama
2. Sinta
3. Lesmana
4. Sugriwa
5. Anoman
6. Dasamuka
7. Trijata
8. Sarpakenaka
9. Indrajid
10. Kombokarno
5.
1. Wayang Klitik Purwo
Koleksi yang dipamerkan:
1. Narodo
2. Durno
3. Jembawan
4. Bolodewo
5. Brotoseno
6. Kombokarno
2. Wayang Klitik Damarwulan
Koleksi yang dipamerkan:
1. Minakjinggo
2. Dayun
3. Browijoyo
4. Damarwulan
5. Layang Seto
6. Layang Kumitir
7. Noyo Genggong
6.
1. Wayang Golek Purwo
Koleksi yang dipamerkan:
1. Anoman
2. Bimo
3. Bodronoyo
4. Sumantri
5. Prahasto
6. Bolodewo
2. Wayang Golek Damarwulan
Koleksi yang dipamerkan:
1. Layang Kumitir
2. Patih Logender
3. Kencono Wungu
4. Damarwulan
5. Anjasmoro
6. Puyengan
7. Patih Tuban
8. Dayun
3. Wayang Golek Menak
Koleksi yang dipamerkan:
1. Dewi Rengganis
2. Umarmoyo
3. Umarmadi
4. Patih Abdullah Akbar
5. Raja Lamdaur
6. Menak Jayengrono

Sumber :diambil dari buku Nawasari Warta, Oktober 1994

Rabu, 03 Juni 2009

SI KABAYAN MORO UNCAL
Resensi ;

Isuk kénéh si Kabayan jeung mitohana geus harudang, lantaran poé éta rahayat rék moro uncal.
Urang kampung geus saraged, make calana sontog, samping di beubeurkeun kana cangkéng, bedog panjang nyolegréng. Sawaréh marawa tumbak. Anjing rageg geus hayangeun geura ngudag boroan ka leuweung.
Nénjo batur saraged téh si Kabayan mah teu ieuh kapangaruhan. Manéhna mah ngaléléké, make sarung di kongkoyangkeun. Batur-batur marawa bedog, manéhna mah kalah mawa péso raut.
“Keur naon mawa péso raut, Kabayan?” tatanggana nanya. “Keur nyisit uncal,” témbalna.
Nu rék moro laju arindit. Tepi ka leuweung, der ngasruk. Anjing rageg ti kulon, ti kalér, ti wétan. Jalma-jalma pating corowok. Nu megat ayana di Beulah kidul, lebah bubulak.
Ari si Kabayan misahkeun manéh. Manéhna mah nangtung handapeun tangkal jambu batu bari tatanggahan, néangan jambu asak. Keur tatanggahan, gorowok nu ngagero, “Pegaaat…!”
Si Kabayan ngalieuk. Ari torojol téh ti jero rungkun, uncal jaluna. Tandukna ranggah.
Si Kabayan can nyahoeun uncal. Ceuk pangirana uncal téh sagedé anak embé. Nu matak barang nénjo sato nu siga kuda bari tandukan téh, ngan térékél waé manéhna naék kana tangkal jambu. Teu bias luhur naékna téh da kagok ku sarung. Manéhna nangkod kana dahan panghandapna, sarungna ngoyandon. Kabeneran uncal téh lumpat ka handapeunana pisan. Si Kabayan peureum, sieuneun kaparud tanduk uncal nu sakitu ranggahna.
Si Kabayan teu kira-kira reuwaseunana barang aya nu ngabedol ti handap. Ari diténjo, horéng tanduk uncal téh meulit kana sarungna, uncal ngarengkog, tuluy babadug haying ngalésotkeun tandukna. Kadéngé ambekeunana hoshosan. Si Kabayan beuki pageuh muntangna, uncal beuki rosa ngamukna, tapi tandukna kalah beuki pageuh kabeulit ku sarung. Si Kabayan beuki geumpeur, sepa taya getihan.
“Tuluuung.., tuluuung.., ieu aing ditubruk uncaaal..!!” si Kabayan gegeroan ménta tulung.
Teu lila burudul nu moro nyalampeurkeun. Nénjo uncal abrug-abrugan téh, teu antaparah deui belewer wé ditumbak. Uncal ngajéngjéhé. Jekok-jekok pada ngadékan tepi ka rubuhna. Uncal ngajoprak, si Kabayan ogé ngalungsar gigireunana bari rénghap ranjug.
Nu ngariung uncal hélokeun. “Kumaha ditéwakna uncal sakieu badagna Kabayan?”
Si Kabayan nangtung lalaunan bari cengar-cengir. “Ah., gampang. Uncal méngpéngan ka handapeun tangkal jambu, ku kuring dipegat. Barang geus deukeut, dirungkup wé tandukna ku sarung. Tuh gening sarungna ogé tepi ka rangsak saroéh. Geus karungkup mah teu hésé, kari marieuskeun wé tandukna.”
Saréréa gogodeg. Ari si Kabayan padamuji téh nyéréngéh wé bari ngusapan tuurna nu bararéd.
Uncal pada ngarecah. Si Kabayan balik ngajingjing pingping uncal bari héhéotan.
Dicutat tina Carpon Mangle.


Kasimpulan :

Si Kabayan nyaéta hiji tokoh/karaktér rahayat urang sunda. Manéhna ngabogaan watek bodo tapi pintér, dicirian ku gaya sorangan, nyaéta beuki heureuy, humoris, tara ngambeuk, tapi sok salah ku paripolah sorangan.
Judul : Silang Sigeu
Pengarang : M. Sasmita
Penerbit/ thn : Cupumanik/ Oktober 2006

Aya hiji awéwé jeung lalaki, maranéhna boga landihan masing-masing. Nu lalaki sok disebut silang (si belang), sabab pas dina waktu janjian rék papanggihan manéhna maké baju belang. Ari nu awéwé sok dilandih sigeu (si geulis), sabab pada can nyaho ngaran aslina. Maranéhannana bisa panggih téh, sabab si Silang unggal malem saptu sok ngadéngékeun radio, jeung sok ngahaja néangan sora penyiar awéwé tuluy si Silang ngawawanikeun manéh ngajak wawanohan nepi ka janjianna.
Geus sataun leuwih maranéhna wawuh téh. Pleng wé….sababaraha taun teu panggih. Dina hiji waktu nya éta poé minggu sabuat ngajak ulin budakna, si Silang ujug-ujug aya nu ngageroan bari nepak kanu taktakna “Silang….?!”. si Silang reuwas, sabab nu ngalandih manéhna silang mah ngan si Sigeu hungkul. Tuluy maranéhna ngobrol di tukang mie kocok, sabab mie kocok téh karesepna si Sigeu. Maranéhna patuker nomor telepon jeung sérélék (serat éléktronik, email téa) geus kitu maranéhanna papisah, sabab budak si Silang ngangajak balik waé.
Peutingna si Silang mukaan email. Kunaon bet peuting? Cenah mah, sabab kahiji ngoprék computer teu kaganggu ku budak, kadua sugan wé bakal leuwih cepet, katiluna sugan wé mayar teleponna rada murah. Pas dibuka loba sérélék nu asup, salah sahijina ti si Sigeu. Manéhna nyaritakeun keur basa manéhna pisah jeung si Silang. Tuluy wé si Silang ngabales sérélék ti si Sigeu. Berbagi pengalaman.

Nama : Eva Siti Nurjanah
NPM : 180210060009
Judul : RUSIAH
Pengarang : Holisoh MÈ
Penerbit : Cupumanik/ Oktober 2006

Hiji lalaki nu geus boga pamajikan keur bungah, sabab anyar boga budak. Manéhna diurus ku indungna jeung bapa téréna, sabab ti manéhna orok gé geus diurus ku bapa téréna.
Dina hiji waktu, manéhna ngadéngékeun ti luar imahna. Ceulina diantelkeun kana bilik imahna. Aya indung jeung bibina keur ngaromongkeun manéhna. Awalna mah ngomongkeun yén éta budakna téh siga akina, mun ceuk indungna mah ‘siga si nurustunjung’. Manéhna tuluy ngadéngékeun, sabab manéhna haying nyaho saha bapa nu tegesna.
Malah keur manéhna SMP mah, manéhna téh pernah kabur ti imah, kaluar ti sakola jeung sok mabok, kusabab manéhna haying nyaho saha bapa tegesna. Sababaraha bulan manéhna tara panggih jeung indung. Geus mangbulan-bulan teubalik aya emangna nyusulan ngajemput, ngabéjakeun yén indungna téh keur gering parna. Manéhna daék balik ka imah milu ka emangna.
Nepi di imah manéhna éling, sadar langsung ngedeprek di hareupeun indungna nu keur ngagoler. Manéhna janji ka diri manéhna rék robah. Manéhna embung nyeri hatékeun deui indungna. Manéhna hayang némbongkeun kahadéan dina waktu pas manéhna panggih jeung bapa tegesna.
Dina waktu manéhna suksés, pas keur sukuran anakna bapa tegesna nepungan. Mimitina mah manéhna embung ngahampura, sabab geus ngantep manéhna jeung indungna, jeung geus nyieun manéhna kabur ti imah. Tapi manéhna mikir deui ‘piraku moal ngahampura mah!’. Manéhna karunyaeun ninggali kaayaan bapana nu geus teu mararatut dina awak jeung pakéannana.

Nama : Eva Siti Nurjanah
NPM : 180210060009
Judul : Ulin Ka Lembur Kuring
Pengarang : Sarah Aini
Penerbit / thn : Cupumanik/ 2006

Ulin Ka Lembur Kuring
Lembur Kuring téh patempatan nu aya di wewengkon kota Bandung Beulah kalér, kaasup ka kalurahan Babakan Siliwangi, Kacamatan Coblong.
Harita téh poé saptu, sarta kabeneran hade poéna. Abdi sareng réréncangan saparantos bubar sakola ngahaja ngarumpul hela di buruan sakola, lantaran tos pasini rek ngadon botram di Lembur Kuring.saparantos dugi ka tempat nudijug-jug, abdi sarebg réréncangan bar waé namparkeun samak saheulay anu ngahaja kénging ngabantun. Neraskeun lalampahan, abdi sareng réréncangan teu weléh muji sukur ka Nu Agung, anu parantos nyiptakeun alam katut sadaya eusina.
Keur jongjon ningal pamandangan di sawah, naha atuh ari….gebrug aya nu labuh pengkereun. Barang dirérét singhoreng jang Adi deui waé ayeuna mah tikoséwad dna galengan sawah meunang mopok patani.
Nama : Dewi Siti Astuti
Npm : 180210060016


Judul : pélét Maronggé
Pengarang : Rangga Gumilang
Penerbit / Thn : Seni Budaya / 2005

Pélét Maronggé
Raheut manah ku pamget , nu ngjurung Gabug apruk-aprukan milari babakan geusan nyingkahan nu ngararajét atina. Nyai Gabug disarengan ku tilu rayina, Setayu, Naibah, Nidah. Taya nu terang, saha lalaki nu tos ngaraheutan manah Nyai Gabug.
Nyai Gabug anjog ka hiji pasir di tungtung lembur Babakan. Saterasna Nyai Gabug bubura, ngadengekeun tempat pamatuhan. Wartos ngeunaan Nyai Gabug kalih rayina gancang pisan ngbalabar kawat, ibur salembur éar sadésa, yén di pasir Babakan aya opat widadari sasab. Para pangeusi kampong, upamina kaum pameget teu sirikna ngaleut ngagkeuy ngabandaleut muru ka pair Babakan.
Nyai Gabug malidakeun kukuk kawalungan Cilutung. Saterasna Nyai Gabug munut sangka éta kukuk dibalikeun deui ngalawan cai nu ngamalir. Raja Gubangkala ngaranju, wiréh tanjakan Nyai Gabug téh kalintang abot. Malah sok sanaos Raja Gubangkala sumerah, taluk kalayan heneu sanggup nedunan tanjakan Nyai Gabug. Demi Nyai Gabug, manahoréng ku kalinuhungan pangaweruhna, tiasa malikeun deui kukuk.
Taya nu henteu ta’jub nyakskaampuhan élmuna Nyai Gabug. Éta kajadian anu jadi sasakala kamashurna “pélét si kukuk mudik”.
Nama : Dewi Siti Astuti
Npm : 180210060016
Judul : Harga Kasatiaan
Pengarang : Tetty Suharti
Penerbit/ Thn : Kanagan (Kumpulan Carpon Pinilih Manglé)/ 2003

Aya hiji kulawarga, nyaéta indung (Nunung), bapa (Jajang), jeung anakna tilu (Titin, Nining jeung Ade). Nu loba ngabélaan kulawarga téh indungna. Timimiti néangan nafkah, ngurus budak, nepi ka bébérés imah kusorangan, paling nu minangka sok mantuan téh anak nu panggedéna sok ngurus atawa ngamandian adi-adina.
Dina hiji waktu pas hudang saré tibeurang Nunung ngarasa lieur, teu rada lila batuk ujug-ujug kaluar getih. Manéhna mikir sieun TBC. Di imah euweuh sasaha. Pas salakina datang Nunung langsung bébéja. Salakina euweuh rasa hariwang komo perhatian kanu jadi pamajikan. Malah dijauhan jiga nu sieun katépaan. Saméméh Nunung saré, Nunung omat-omatan ka salakina haying ditungguan nepi ka manéhna hudang. Tapi pas Nunung hudang salakina nyampak euweuh, Nunung ngan bisa kukulutruk sorangan.
Isukna salakina ngajak ka dokter, méh puguh ceunah naon panyakitna. Tisaprak balik ti rumah sakit, salakina beuki ngajauhan manéhna. Timimiti saré sok jeung budak-budakna waé nepi ka urut dahar Nunung sabangsa piring, séndok jeung gelasna sok di léoban. Dinu saré barengna gé sok nonggongan bari dibuntel da sieun katépaan.
Hiji waktu Nunung kesel ninggali kalakuan salakina jiga kitu. Nunung paséa jeung salakina. Nunung nanya ka salakina “Mana harga kasatiaan salila ieu téh?”. Saking ku keselna Nunung mawa budak nu bungsu nyingkah ti imah kontrakan éta.
Nama : Eva Siti Nurjanah
NPM : 180210060009

Judul : Manéhna Lain Musa
Pengarang : Dédé Syafrudin
Penerbit/ Thn : Kanagan (Kumpulan Carpon Pinilih Manglé)/ 2003

Dina tumpukan sampah disela-sela gedong pencakar langit, manéhna cicing. Digembrong laleur, unggal jelema ngaliwat sok nutupan irung. Manéhna sok disebut janin. Janin nu geus dipiceun ka wadah runtah. Manéhna teu dipikahayang ku jelema nu geus nyalahan tina norma-norma.
Teu rada lila aya kopéah nu dipiceun cicing deukuet janin. Kopéah nu dipiceun éta ngobrol jeung janin. Janin nanya “ti mana asal anjeun?”. Tuluy wé Si kopéah téh nyarita. Si kopéah nyarita yén manéhna milik salah saurang guru agama. Si kopéah tara leupas ti sirah guru agama téa. Tapi saeunggeus guru agama éta maot si kopéah diteundeun di gudang mangtaun-taun, pas anakna bébérés manéhna dipiceun.
Si kopéah loba nyaritakeun pangalaman nu geus miboga manéhanana. Tapi anu paling nyieun janin éta merhatikeun waé téh, pas Si kopéah nyarirtakeun Nabi Musa. Nyaéta dongéng ngeunaan orok anu dipalidkeun ka walungan ku indungna pikeun nyingkahan balai jalma-jalma anu hayang nyilakakeun.
Saeunggeus lila ngobrol Si kopéah aya nu mulung ku gelandangan. Sedengken manéhna mah dibawa ku anjing. Rébuan laleur héjo haliber. Basa anjing éta ngagégél kantong palastik hideung anu ngabulen manéhna, tuluy digusur ngajauhan wadah runtah. Manéhna gumbira, “Ambu? Ambu…! Ambu…” ceuk manéhna.

Nama : Eva Siti Nurjanah
NPM : 180210060009



Judul : Sarpani Oray
Pengarang : Empu Surawinata
Penerbit/ Thn : Kanagan (Kumpulan Carpon Pinilih Manglé)/ 2003

Kacaritakeun aya hiji jalema nu pinter, nu nyaho kana oray ngaranna nyaéta ngaranna Sarpani. Manéhna pinter newak oray, nyingkeun oray. Rupa-rupa oray sok bisa ditaklukeun ku manéhanana mah. Ceunah jangjualeun deui kulitna, cenah ogé sok dikilo.
Aya hiji jalema nu ngadatangan Si Sarpani. Rék ngahuma cenah, tapi sieun loba oray. Méta bantuan wé ka Si Sarpani sangkan sabuat manéhna ngahuma mah oray téh euweuh nu datang, teu ngaganggu kanu ngahuma. Si Sarpani daék mantuan.
Disiapkeun wé menyan jeung ci hérang, da saacanna éta téh pamenta Si Sarpani. Menyan dihurungkeun bari dikunyem-kunyem heula ku Si Sarpani téh. Tuluy Si Sarpani ngulilingan sawah bari mamawa menyan. Geus kitu mah nyingkah wé Si Sarpani téh bari dikeupeulan duit.
Sabuat ngahuma, aya nu manggihan oray, orayna téh leuleus begang, jiga peta mesin tik cenah. Tuluy ngageroan Si Sarpani, naha bet bisa jadi kitu éta oray téh. Si Sarpani ngajelaskeun pan ku urang geus dijampéan sangkan teu bisa pucak-pacok.
Geus kitu teu rada lila aya nu néangan Si Sarpani. Ngajelaskeun yén pamajikannana sok méwék teu boga duit, tuluy paré béak dihakanan beurit. Ti saprak Si Sarpani sok ngala oray, di kampungna jadi tara aya oray. Paré-paré sok béak ku beurit.
Nama : Eva Siti Nurjanah
NPM : 180210060009
1. Judul buku : Teu Pegat Asih
Karangan : Soeman Hs.
Penerbit : Kiblat

Ieu novel didongéngkeun deui kana basa Sunda ku Moh. Ambri. Moh. Ambri ogé tos tiasa mindahkeun suasana “deungeun kana suasana anu keuna kana kabiasaan orang sunda, bari teu aya nu robah “kadeungeunana”. Salah sahiji subangsih mangrupa karya asli pikeun kesusastraan Sunda.
Isi carita novel “Teu Pegat Asih”; nyaéta:
Aya jajaka pangawakanana pendék leutik, jangkungna ogé sed baé ti saméter satengah, tapi umurna mah geus kolot, leuwih ti dalapan welas taun. Ngaranna Si Taram, manéhna téh budak kukut Tua-kampung. Asalna mah ti Singapur, dibawana ti ditu téh karak bubulanan umurna. Sanggeus asup Islam, Si Taram jadi réa kawawuhan.
Di deukeut imahna, aya béntangna éta kampung. Nurhaida ngaranna. Si Taram bogoh ka éta wanoja. Nepi kagégéloan, dugi jinisna ditanya. Kabeneran ituna puruneun. Ngan hanjakal, lamaran Tua-kampung teu ditarima ku kolot Nurhaida. Lantaran cek Nini Tijah téa mah, Encé Abas - bapana Nurhaida – luhur teuing pamakanan.
Dugi Taram mawa minggat Nurhaida ka Singapur, bari didituna dikawin ku Si Taram. Menang sebeberaha taun ngajalanan rumah tangga nu can menang restu, Nurhaida minggat ti salakina balik ka lemburna deui. Untung can batian, jadi pas resmi randa, loba pisan nu masih hayangeun ngan angger bapa na luhur teuing pamakanan. Aya pangumbara ti Arab ngajual obat di lembur éta, manehna ngarana Syékh Wahab.kakara sabaraha poé di dinya tuan Syékh geus kautara ka saeusi lembur. Lain ku barang dagangna tapi ogé ku kaalimanana. Tuan Syékh ngalamar ka nyi randa, bapana nyatujuan. Persiapanna ogé meni alus, jiga parawan nu rék dikawinkeunana. Geus resmi jadi salaki Nurhaida, dina lebaran éta Syékh robah jadi Ki Taram. Lalaki nu geus pernah jadi salakina.


2. Judul buku : Mercedes 190
Karangan : Muh. Rustandi Kartsakusuma
Penerbit : Girimukti Pasaka

Dina novel “Mercedes 190” nyaritakeun kahirupan rumaja dijamanna.
Lalaki anu mamerkeun kabeungharan jang menangkeun wanoja-wanoja nu nurut dikumaha-kumahakeun. Manehna nu miboga hiji-hijina mobil mersedes 190 sa-Bandung, ngaranna Dudung. Manehna unggal poe ngalakukeun Operasi Sapu Jagat dibaturan ku babaturan nu paling satia nyaeta Jaja. Euweuh hiji mojang nu teu bau bengsin, kitu kayakinanan Dudung nepi ka panggihan jeung Nenden.
Nenden hiji mojang nu kakara nolak diajak ku Dudung, milih naek beca tibatan ngilu naek mobil Mercedes 190. Ti saprak harita Dudung teu bias mopohokeun kajadian eta sareng emut wae kanu namina Nenden. Dugi ngahajakeun ngadamel sandiwara jeung bias patepung sareng Nenden. Kabeneran Jaja boga babaturan di fakultas kedokteran nu ngarana Liesye. Liesye sareng Jaja ngahaja ninggalkeun Nenden sareng Dudung ambeh bias duan. Ti barang kajadian eta Dudung bias deukeut jeung Nenden.
Hiji poe Dudung nganterkeun balik Nenden teu make mobil tapi beca. Sapanjang jalan Dudung ngluarkeun eusi hatena ka Nenden. Tapi Nenden nu malik bingung kudu kumaha ngawaler sadaya pertanyaan nu diajukeun ku Dudung. Padahal Nenden teu resep kana kalakuanna nu tos katelah playboy sa-Bandung. Ku kadeukeutan yeuna wae geus teu nyaman jang Nenden mah, ngan saukur ngahargaan wungkul. Sateu acan lebet ka bumi Nenden miwarang Dudung kanggo ameng ke enjingna ka bumina. Tapi teu lila Nenden nelepon yen isuk tong jadi soalana Nenden bade ngapalkeun kanggo prektek kimia.
Dudung langsung mangkat ka imahna Nenden, tapi ti saprak nepi Nenden jiga nu ambek ka Dudung. Asa teu di hareupkeun datang, Dudung balik deui ngan karek dugi jalan ya nu ngajeit. Langsung wae Nenden nyameurkeun ka Dudung, hampir wae Dudung ka serempet ku tangga beusi dina mobil pagawai listrik. Tapi teu kunanaon, langsung wae dibawa ka jero imah. Didinya Dudung jangji rek jadi anu dipikahayang ku Nenden, rek robah palipolah jadi bener. Ti barang harita oge Nenden ngarasa Cinta ka Dudung.

4. Judul buku : Jurig Paséa jeung Nyi Karsih
Karangan : Tini Kartini
Penerbit : Kiblat

Awéwé nu ngalakonan dina carpon-carpon Téh Tini, seueurna ngenaan pangalaman anu teu pikabungaheun. Dina “Jurig”, Nyi Iyot téh kapan dinyenyeri ku salakina, anu antukna kawas nu kurang saeundan. Kitu deui dina “Ondangan”, si “kuring” ngarasa geus nyieun dosa pédah boga salaki ka urut kabogoh babaturanana. Atuh dina “Sial” si “kuring” kawiwirangan basa gelungna murag hareupeun jalma réa, cara si “kuring” dina “Di Lembur” anu kanyahoan ku ibu-ibu yén manéhna teu bisa ngaji. Ari dina “Paséa”, Mari nu boga lalakon kacida teu ngeunah pédah dipitenah ku Emin, sobatna pisan, pajar boga niat haying ngarebut salakina. “lajang Baheula” gé dina jero-jerona mah ngandelkeun kasusah “Inggin” keur ngora nu kudu daék dihukum ku aki-aki sakumaha pamundut Juragan Dalem. Sok komo dina “Nyi Karsih” mah, kapan tokoh Nyi Karsih anu dipaksa ngawulaan kapalay Juragan Dalem téh antukna mah nepi ka luas nelasan manéh.
hilfia budi astuti
10060003
Judul: Katineung
Karya: Holisoh M.E.
Penerbit: Girimukti Pasaka, Cetakan I : 1998

Sinopsis Cerita:
Cerita dalam novel ini menceritakan tentang seorang wanita yang masih mencintai kekasihnya yang telah lama meninggal. Pupuy tokoh utama dalam novel ini sangat mencintai kekasihnya, dan pada waktu kekasihnya meninggal karena radang selaputnya Ia merasa sangat terpukul dan merasa sangat kehilangan Eri, kekasihnya.
Dua tahun sudah kepergian Eri. Ia masih melanjutkan sekolahnya di Kota Bandung, tepatnya sekolah keperawatan. Disana Ia tinggal di sebuah Asrama bersama teman-temannya. Disana Ia merasa senang dan bahagia karena mempunyai banyak teman-teman yang baik, walau begitu Ia masih belum bisa melupakan sosok kekasih yang sangat dicintainya.
Setiap malam minggu tiba, teman-temannya selalu berkencan dengan pacar-pacarnya, namun Ia selalu berdiam diri di kamarnya. Pada suatu ketika Dini salah seorang temannya memperkenalkan kekasihnya kepada Pupuy. Dan saat Ia melihat sosok Ajat, yakni kekasih Dini, yang ternyata sangat mirip dengan kekasihnya, Eri yang telah meninggal. Sejak saat itu Ia tidak tahu harus bagai mana, Ia menyukai Ajat. Setelah kejadian itu Ia merasa bersalah kepada Dini karena diam-diam Ia menyukai kekasihnya. Pupuy yang suka menceritakan isi hatinya pada buku Diary menuliskan isi hatinya sejak pertama kali Ia melihat Ajat.
Pertengkaran di mulai ketika Dini membaca buku Diary milik Pupuy yang Ia simpan diatas tumpukan bajunya di lemari yang saat itu Ia lupa tidak membawa kuncinya. Saat itu Dini mengetahui semuanya. Pada suatu hari Dini mengajak Pupuy untuk bertemu yakni untuk membicarakan semua masalah diantara mereka, dan saat itu mereka bicara di ruang tengah yang berada di bawah. Saat itu Dini sangat marah sehingga menimbulkan percekcokan diantara mereka. Pada saat mereka sedang bertengkar Sri, yakni salah satu teman mereka mendengarkan pembicaraan mereka. Pada keesokan harinya teman-teman Pupuy yang biasanya baik menjadi berbalik membencinya. Saat itu tidak ada satupun teman-temannya yang memperdulikannya, kecuali Élin. Élin menceritakan semuanya pada Pupuy bahwa Sri yang membuat semua keadaan seperti tiu.
Hari demi hari kian berganti namun mereka masih saja membenci Pupuy. Pada saat itu Pupuy berbalik membenci Ajat, karena menurutnya karena Ajatlah sekarang Ia seperti itu, teman-temannya membencinya. Pada suatu ketika Ia memutuskan untuk kembali ke kampungnya karena Ia sudah merasa tidak kuat menahan rasa sakitnya diperlakukan seperti itu oleh teman-temannya. Akhirnya setelah dipikir dan dipikir lagi Ia sudah bulat dengan keputusannya untuk pergi dari Sekolahnya, Asrama, Élin dan semuanya, walau Ia pulang tidak dengan membawa Diplomanya.
Sesampainya di kampung halaman, Ia segera masuk ke rumah yang telah lama tidak Ia datangi. Ibunya segera mengajaknya untuk masuk. Di kamarnya Ia melihat kembali semua kenangannya bersama Éri. Ia menyadari bahwa ternyata Ia tidak menyukai Ajat, Ia berfikir mungkin karena Ia masih sangat merindukan Éri, sehingga karena Ajat mirip dengan Éri makanya Ia menyukainya.
Setelah beberapa bulan Ia tinggal di kampungnya Ajat datang ke rumah Pupuy, Ia mengatakan bahwa Ia menyukainya. Namun Ia menolaknya karena Ia menyadari dia bahwa laki-laki yang di cintanya. Pupuy pergi meninggalkannya.

Comment’s:
Novel yang berjudul “Katineung” ini ceritanya cukup bagus. Namun cerita di dalamnya menurut saya kurang jelas. Menurut saya novel ini bersifat open ending.

Nama: Sri Ariani Widyastuti
NPM: 180210060028
Judul : Sagala Bisa Diatur
Pengarang : Jejen Jaelani
Penerbit/Thn : Percetakan PT.Granesia/1997

Ki Raden, nu jeneng kapala di hiji Departemen jenengna teh make duit juta juta. Matak tong aneh mun bendahara taya pusingna, da puguh nyokot duit neundeun duit nu ngabalanjakeun duit, kabeh ge ku Ki Raden, bendahara mah tukang ngabukukeun we, bari diupahan ku duit rerebuan. Matak dina jero dua taun the modalna geus balik deui. Tapi kahade ulah waka goring sangka ,ieu mah lain di nagara urang, tapi di nagara batur. Matak dinagara Manaboa mah,nu beunghar mingkin beunghar, nu miskin mingkin malarat rosa. urang bandungan geura, kumaha kasubag hiji departemen Nagara Manaboa keur rebut tawar jeuna pagawe nu hayung jadi kaur.
“kumaha atuh Pa?
“Enya kitu we….”
“Ari Bapa sual artos teu janten masalah, nu janten masalah teh apan aya nu saluhureun abdi…”
“ayeuna aya duit, tilu bulan aya bisluit…”
“Euh…pami kitu mah enjing abdi nepangan deui…”
“ke pangna ayeuna ngadatangan bapa aya naon?”
“kieu bapa,warta sareng wartos nu sumebar di ieu Nagara Manaboa, maksad teh, sumuhun dipecatna salira,saparantos dilenyepan disarengan ku panalungtikan, asa teu aya dasarna upami Bapa dugi ka dipecat.
“ pikeun saheulaanan mah Bapa hayang reureuh heula,hayang nyornakeun pikiran. Bari sakalian neangan ilham…”

Nama : Dewi Siti Astuti
Npm : 180210060016
Nama : Revi Noviana
NPM : 180210060035
JUDUL: Milih Jodo
SINOPSIS CARITA

Tiap mahluk hirup nu di ciptakeun ku nu Maha Kuasa pasti dipasang-pasangkeun. Aya jalu, aya bikang; aya pamegeut, aya istri. Kawinna mahluk hirup nu benteun jenisna mangrupakeun jalan hiji-hijina ameh katurunan mahluk hirup tetep jalan.
Kusabab eta, loba jelema nu neangan jodo bebeakan, padaha jodo teh geus ditangtuken ku nu Maha Kuasa sarua ciga hirup-hentuna jelma. Naon sabeunerna arti joda? Dina bahasa Arab jodo disebut “kufu” nu artina, silih ngajunjung, silih ngamanjakeun, jeung silih ngabahagiakeun.
Di Jaman baheula loba kolot mangneangankeun jodo keur budak-budakna padaha can tentu anakna bakalan bungah dikitukeun. Kolot ngitung cocok atawa heuntena jodo budakna tina hari lahir, katurunan, harta atawa martabat calon suami atawa istrina. Lamun kolot satuju, otomatis masalahna jadi beres. Budakna teu kudu hese-hese neangan jodo deui; apanan sabari ngajalani hubungan cinta bisa aya lain?
Perkawinan nu diatur ku kolot teu jarang nu gagal, komo deui barudak Jaman ayeunamah paling mbung mun diatur-atur atawa didikte ku kolot, benteun jeung bareto. Jaman ayeunamah barudak teh hoyongna milarian colon jelema nu bakalan maturan saumur hirup ku sorangan. Tapi teu jarang oge hubungan anu dasarna silih bogoh gagal ditengah jalan.
Cara ameh masalah eta teu kajadian, antara kolot jeung budak kudu kompromi, maksadna kolot kudu mere nyaho kabudakna tentang jodo nu geus dipilihkeun. Kolot kudu jujur nerangkeun sikap jeung sipat, pendidikan,keturunan jeung sajabana tentang calonna. Lamun kira-kira budak satuju, kolot bisa ngarencanakeun budakna meh bisa panggih keung calonna.
Sabalikna, mun kira-kira budak geus boga jodo pilihan sorangan, eta buda kudu ngenalkeun calonna. Kusabab kolot geuns ngarasakeun haseum-paitna kahirupan pastina bisa leuwih taliti nganilai kakurangan jeung kaliwehan calonna.
Masalah jodo emang penting pisan, keur conto dina carita-carita wayang tokoh Raja loba nu mangneangankeun jodo keur putrina. Misalna, Maharaja Drupati ti karajaan Cempala husus ngaayakeun sayembara keur neangan calon suami putrina, Dewi Drupati. Keur sasaha nu bisa ngelehkeun Aria Gandanama, patih Cempala nu gagah jeung sakti, mangrupakeun jelma nu bisa jadi salaki putrina nu geulis jeung teu aya nu bisa nandingan kageulisanna. Kaurawa, jeung Bambang Kombayana nyaeta tohoh-tokoh pawayangan nu ngiringan sayembara, tapi nu menangkeun sayembara eta nyaeta Pandawa.
Sabeunerna lalaki ciga kumaha sih nu bisa dijadikeu batur hirup keur salilana? Nu jeulasmah kudu saling cinta, jeung cinta nudirasakeun teh kudu jujur tong dipangaruhan ku pihak katilu. Harta, kaningratan atawa kasolehan (kasantrian) teu bisa dijadikeun patokan soalna da nu kitu mah moal lila ayana oge. Tapi nu bisa jadi ukuran ataw patokan nyaeta cinta eta nyalira, da lamun cinta sejatimah moal kabeuli ku duit. Lamun ngke ternyata urang dibeure harta loba pas ngajalankeun hubungan tong nepi nyieun luntur cinta nu geus dijalani.
Kira-kira naon sih nu jadi patokan milih calon istri? Ceunahna aya lima sarat nu kuduna diboga ku istri, nyaeta:
1. Ratih
2. Rati
3. Wini
4. Ina (inang) jeung
5. Rajapati
1. RATIH, artina kanikmatan nu lengkap. Aya oge nu ngaartikeuna keumbang tanjung, ratu, atawa bulan. Artina emang macem-macem tapi hakekat nu salereusnamah ngalambangkeun kamuliyaan nu didukung ku kanikmatan.
2. RATI, artina senang atawa nyaman. Aya oge nu ngaartikeuna bulan nu mancarkeun kaleumbutan jeung sejuk nu bisa nyegeurkeun awak nu geus cape gara-gara aktipitas diluar.
3. Wini, artina beubih. Istri keudah mangrupa ciga beunih atawa bibit. Lain saenakna beunih, tapi kudujadi beunih nu paling alus atawa biasa disebut bibit unggul. Sabab,lamunbibitna sembarangan mustahil bisa tumbuh jadi jiwa nu tangkal nu perkasa.
4. INA, artina paminpin atawa kepala. Maksudna, si Istri kudu boga sikap mimpin tempat dimana biasana si Istri ngalakukeun aktipitas, misalna mimpin dapur imah nu.
5. RAJAPATANI, artina permasuri, garwa raja (ratu). Maksudna, istri keuda tiasa ngmuliakeun suami, lincah, murah hate jeung weulas asih ka krabat.
Kumaha carana ameh jalan rumah tangga bisa akur nepi ngke nini-aki aki? Dina adt sunda mun keur kawin sok diayakeun rangkain adat nikah nyaeta sawer. Upacara nyawer ngagambarkeun naon nu kudu dilakukeun ku Suami-Istri pas ngajankeun hirup duaan. Papatah oge teu poho ditinggalikeunpas upacara sawer, ngajeulaskeun lamun kanyaah kolot teh jeung kolot beuner-beunerna kolot, ameh anakna bisa ngabina rumah tangga nu langgeung.
Nama: Sri Ariani Widyastuti
NPM: 180210060028
Tugas: Sejarah Sastra Sunda


“Carita Parahiyangan”

Carita Parahiyangan ini bercerita tentang dua kerajaan di Nusantara, yakni Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh. Masing-masing kerajaan di pegang oleh satu orang raja, yakni Kerajaan Sunda dipegang oleh Rahyang Banga dan Kerajaan Galuh yang dipegang oleh Sang Manarah (Surottama).
Cerita ini pada awalnya bercerita tentang seorang pemuda yang bernama Manikmaya yang mengembara ke berbagai pelosok negeri untuk mengajarkan agama Hindu. Setelah cukup lama ia mengembara, ia tiba di Kerajaan Taruma Nagara, dan ia diangkat menjadi kepala golongan pendeta oleh Maha Raja Suryawarman, yakni Raja di Kerajaan Taruma Nagara. Tidak lama kemudian ia menikah dengan Dewi Tirtha Kencana, yakni putri Raja Suryawarman. Setelah beberapa bulan menikah, mereka dikarunia beberapa orang putra.

Comment’s:
Carita Parahiyangan ini sangat seru untuk di baca. Ceritanya khas. Dan yang khas dari wawacan ini yakni cerita ini bercerita tentang beberapa faktor, diantaranya bercerita tentang peperangan, perselingkuhan, juga tahta yang diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya. Pokoknya seru, dan tidak kalah dengan novel-novel modern yang ada saat ini.




Nama: Sri Ariani Widyastuti
NPM: 180210060028
Tugas: Sejarah Sastra Sunda


“Carita Darmajati”
Cerita Darmajati ini menceritakan tentang naskah. Naskah tersebut yakni carita Darmajati, dengan naskah kropak 423 dan carita Purnawijaya dengan naskah kropak 416. Disini dijelaskan antara ke dua naskah tersebut, yakni adanya persamaan diantara kedua naskah itu, yang ternyata Naskah dengan kropak 423 salinan dari naskah kropak 416, yang juga salinan dari naskah terdahulu. Isi kandungan dari kedua naskah tersebut yakni berpangkal pada satu induk naskah yang sama.
Amanat dari kedua naskah tersebut sama-sama memaparkan tentang pedoman hidup yang dipengaruhi oleh ajaran agama Hindu dan Budha, yakni agar selamat dan bahagia dalam menempuh kehidupan di dunia dan di akhirat kelak. Namun isinya lebih banyak tentang larangan-larangan dari pada suruhan, seperti seseorang hendaknya menghindari perbuatan yang dilarang dan mengerjakan hal-hal yang berupa suruhan.
Penuturan dalam teks ini berbentuk cerita tentang seorang pemuda yang bernama Purnawijaya yang dinasihati oleh Maha pandita yang disebut Batara dan Dewa Utama. Nasihatnya yang begitu halus sehingga membuat Purnawijaya dianggap sebagai anaknya sendiri.

Comment’s:
Carita Darmajati ini tidak kalah serunya dengan carita Parahiyangan, namun disini yang banyak dibahas yakni mengenai naskah-naskahnya.
Judul: Tempat Balabuh
Karya: Aam Amilia
Penerbit: Rahmat Cijulang, Cetakan I : 1994

Sinopsis Cerita:
Cerita dalam novel ini menceritakan tentang seorang wanita yang sakit hati oleh kekasih yang sangat dicintainya. Wawat tokoh utama dalam novel ini menggambarkan kekecewaan, kesedihan juga penyeselannya yang amat dalam terhadap Warman laki-laki yang sangat dicintainya. Wawat menikah dengan Warman tanpa sepengetahuan kedua belah pihak keluarga. Warman laki-laki yang menjadi suaminya membawanya ke “Asrama” yakni ternyata tempat pelacuran.
Penyesalan tinggal penyesalan. Kini baru ia rasakan benarnya pepatah kakaknya yang sangat melarang hubungannya dengan Warman. Tapi semua sudah terlanjur, nasi telah menjadi bubur, dan kini yang ia rasakan hanyalah penyesalan. Ingin ia kembali ke rumah Ceu Eha, yakni kakaknya, namun ia tak kuasa menahan rasa malu, hingga akhirnya ia bertemu dan tinggal dengan Bibi Marta, yang setelah ia ketahui ternyata tidak jauh beda dengan Warman yakni seorang “Centéng”.
Dua tahun kurang empat bulan ia berada dalam “dunia hitam” sampai ia sempat kepergok di sebuah Hotel oleh polisi. Akhirnya ia di masukan ke dalam asrama WTS selama empat bulan. Di asrama WTS ia mendapatkan macam-macam keterampilan seperti menjahit, dan sebagainya. Setelah keluar dari asrama ia memutuskan untuk kembali kerumah Ceu Eha. Sesampainya di rumah Ceu Eha ia disambut dengan tangis bahagia oleh kakaknya. Di rumah Ceu Eha ia belajar membuat pakaian. Ia menghasilkan macam-macam pakaian anak yang di titipkan Ceu Eha ke pasar. Di toko Mang Mirsan ia menitipkan hasil-hasil pakaian adiknya itu. Pada suatu hari Wawat mengantarkan barang dagangannya ke pasar karena Ceu Eha harus menjaga anaknya yang sedang sakit. Saat itu ia bertemu dengan salah satu “langganannya” dulu yakni si A Sén. A Sén menceritakan semuanya pada Mang Mirsan. Setelah Mang Mirsan mengetahui semuanya ia dan kakaknya memutuskan untuk tidak menitipkan barang dagangannya lagi ke toko Mang Miran.
Pada suatu hari ia terlibat cinta dengan Kang Oman, yakni kakak iparnya. Lambat laun Kang Oman menyadari kesalahannya dan menyuruh agar Wawat pindah dari rumah itu. Setelah itu Wawat pun menyadari semuannya dan ia menyetujui usul dari Kang Oman. Wawat akhirnya pergi dan pindah ke rumah tantenya yakni Bi Empat. Awalnya Ceu Eha tidak menyetujui usul dari adiknya itu, tapi Wawat menyakinkan kakaknya bahwa ia ingin melanjutkan sekolah lagi, akhirnya kakaknya menyetujuinya.
Di rumah tantenya ia melanjutkan lagi keahliannya dalam menjahit pakaian. Ia pun mengikuti kursus kecantikan serta tatarias pengantin. Setelah cukup lama ia tinggal di rumah tantenya ia bertemu dengan seorang pemuda yang baik, pintar dan cukup terpandang di desa itu. Dadi nama pemuda itu. Ia menyukai Wawat. Setelah lama mereka kenal akhirnya mereka menjalin hubungan, hingga akhirnya Dadi melamar Wawat. Beberapa bulan kemudian akhirnya pernikahan mereka tiba. Namaun semuanya terungkap setelah mereka melewati malam pertama. Dadi tidak menerima semua itu, Dadi merasa terkhianati. Akhirnya semua orang tahu, dan Wawat di usir oleh Tante dan Pamannya. Akhirnya Wawat pergi dari rumah itu. Dalam perjalanan Ia tidak tahu harus pulang kemana. Akhirnya Ia memutuskan untuk kembali ke tempat Bibi Marta. Ia yakin karena hanya disanalah tempat Ia berlabuh.

Comment’s:
Novel yang berjudul “Tempat Balabuh” ini ceritanya sangat bagus sekali sehingga bisa membawa si pembaca larut ke dalam isi ceritanya. Menurut saya novel ini bersifat sad ending.


Nama: Sri Ariani Widyastuti
NPM: 180210060028
Judul : Writing and Being
Pengarang : Nadine Gordimer
Penerbit/tahun : Jalasutra/1995

Ringkasan

Dalam writing and being, Gordimer terutama menyoroti makna penulisan dalam peradaban manusia, beralih pada peran penulis terhadap realitas yang dihadapinya. Dan pada ujungnya mengkhawatirkan bahwa kekuasaan yang semena-mena dan politik yang korup kerap menjadi bencana bagi para penulis. Sebabnya adalah penulis yang jujur dituding kerap melakukan subversi terhadap martabat penguasa. Disinilah ada (being) memiliki relevansi signifikan bagi para penulis dan pengaruh terhadap hasil karyanya. Hanya dengan itulah penulis bisa memberi sumbangan yang berarti bagi kehidupan dan kemanusiaan. Bagi Gordimer, yang hidup ditengat-tengah pergolakan social, pertentangan kelas sangat taja, dan penerapan sistem apartheid, yang dilakukannya ialah dengan mengkritik rasisme dan ketidakadilan dengan cara elegan. Dia tersulut oleh frustasi atas bahaya social dan politik karena politikpemisahan ras tersebut.
Dalam buku ini akan bisa merasakan wawasan, pendirian dan idealisme Gordimer terhadap yang dinamai sebagai writing and being. Dia berusaha hati-hati dan mendalam menginterprestasikan karya penulis lain, selain itu dia membukakan jendela bagi kita tentang sejumlah topic yang menarik diperhatikan, mulai dari pertautan tulisan dan revolusi, sampai ketegangan penulis antara pengalaman penulis dengan penciptaan tulisan. Dia akan sangat memfokuskan pembicaraannya tentang seni fiksi dengan seni kehidupan.






Triyanto
180210070023


Judul : Tempat Balabuh
Pengarang : Aam Amalia
Penerbit/tahun : Rahmat Cijulang, Bandung 1994

Ringkasan

Menceritakan seorang wanita yang salah memilih jalan hidup. Dia anak yatim piatu dan mempunyai seorang kakak perempuan yang telah bersuami. Diceritakan bahwa wanita ini ketika masih duduk dibangku SMA menyukai seorang laki-laki yang ganteng namun kakaknya tak menyukainya dikarenakan dia tahu bahwa laki-laki itu adalah laki-laki yang tidak baik hanya mempermainkan perempuan. Si adik ini pun backstreet dan akhirnya hilanglah keperawanannya lalu mereka pun kawin lari dan pergi ke suatu kota. Namun apa kata, nasib wanita ini sungguh sial bukannya diberi nafkah malahan di jual pada Om-om oleh pria yang dicintainya. Apa daya dia dicumbui oleh Om-om itu disinilah dosa keduanya dimulai. Kemudian hari demi hari pun dia jalani menjadi seorang wanita penghibur.
Suatu ketika dia teringat kembali pada kakak perempuannya, dia pun kembali pulang pada kakaknya itu. Suatu ketika kakaknya sedang hamil, dia pun tak kuat menahan birahinya maka digodanya kakak iparnya itu tapi tak berhasil. Namun pada suatu hari ketika kakak perempuannya sedang pergi kakak iparnya pulang awal maka terjadilah percumbuan diantara mereka. Si adik dan kakak iparnya ini pada suatu waktu hanya berdua sering melakukan perkelaminan diantara mereka dan saling menikmatinya. lalu mereka sadar bagaimana kalau perbuatan mereka diketahui.
Akhirnya si adik pindah kerumah bibi dan pamannya di sebuah desa dan dia pun menemukan laki-laki idaman lain yang lebih. Mereka pun berkenalan lalu menikahlah mereka tapi pada saat malam pertama laki-laki ini kaget bukan kepalang, marah dan tidak menyukainya. Laki-laki ini ketika itu tahu bahwa wanita ini sudah tak perawan lagi pada saat itu dia pun pergi dan langsung menceraikannya. Akhirnya wanita atau si adik ini kembali menjadi wanita penghibur lagi.

Triyanto
180210070023

Novel Lalangse

karya Aam Amilia

Nama : Yayan Kardiyana

NPM : 180210060007

Novel Lalangse karya Aam Amilia, di dalam novel ini terdapat cerita yang mengisahkan seorang guru yang mencintai muridnya..

Tokoh Sri Rahayu digambarkan sebagai guru yang di tinggalkan suaminya karena suaminya sebagai tentara yang ditugaskan keluar kota. Sri Rahayu mengalami dampak kejiwaan ketika dirinya harus ditinggal suaminya untuk waktu yang lama. Sri Rahayu harus menjalani kesehariannya tanpa suaminya. Hal itulah yanga mendorong Sri Rahayu untuk mencari yang dapat memenuhi kepuasan jiwanya.

Sri Rahayu merasa tertarik terhadap muridnya yang bernama Jaka karena kepribadiannya yang pendiam. Jaka adalah tokoh yang mengalami ketidak utuhan keluarga, karena orang tuanya berpisah, oleh karena itu Jaka merasa kurang perhatian dari orang tuanya. Hal ini yang menyebabkan Jaka membutuhkan kasih sayang yang selama ini tidak di dapatkan dari orang tuanya.

Berbagai permasalahan di sekolah yang dihadapi Jaka pada waktu usulanya untuk mendirikan majalah Sunda di sekolahnya tidak diberi ijin oleh kepala sekolahnya. Sri Rahayu sebagai wali kelasnya merasa iba akan kendala yang dihadapi Jaka karena pada awalnya kepala sekolah setuju adanya majalah sunda tersebut, tetapi sesudah berjalan beberapa lama kepala sekolah tidak mengizinkan lagi majalah Sunda tersebut untuk terbit kembali karena ada muridnya yang bukan suku Sunda.

Sri Rahayu karena merasa iba terhadap murid–muridnya maka mengijinkan majalah Sunda untuk terbit lagi tetapi pembuatannya di lakukan di rumah Sri Rahayu. Hal inilah yang membuat Sri Rahayu dan Jaka menjadi lebih dekat, dan lama kelamaan Sri Rahayu mempunyai rasa cinta terhadap Jaka, tapi yang Jaka rasakan hanyalah kasih sayang selayaknya guru terhadap muridnya, padahal Sri Rahayu mempunyai perasaan selayaknya perempuan mencintai seorang laki–laki.

Jaka tidak boleh masuk sekolah karena majalah sunda tetap terbit yang dianggap menentang kepala sekolah. Pada suatu hari Jaka datang ke sekolah menemui Sri Rahayu untuk meminta maaf atas kejadian yang dianggap menentang sekolah, tetapi Jaka tidak bertemu dengan gurunya, Jaka malah bertemu dengan Gigo dan teman–temannya yang tidak setuju majalah sunda terbit, Gigo dan temannya–temannya mengolok-olok Jaka yang pada akhirnya mereka berkelahi dan membuat Jaka masuk rumah sakit.

Pada saat Jaka di rumah sakit ketika siuman yang Jaka lihat hanya Sri Rahayu yang sedang menemaninya sambil menangis. Sri Rahayu memeluk Jaka dengan penuh kasih sayang dan mereka berciuman layaknya sepasang lelaki dan perempuan yang sedang melepaskan rasa kasihnya. Hal itulah yuang terjadi dikarenakan keduanya tidak mendapatkan dari orang terdekatnya.

Akhirnya Jaka sadar hal itu tidak pantas karena sri rahayu adalah seorang guru dan jaka sadar bahwa dirinya hanya sebagai murid, maka pada saat suami Sri Rahayu pulang semua itu tidak bisa lagi di teruskan karena tidak pantas untuk dilakukan lagi.