Selasa, 21 April 2009

TRADISI PENGOBATAN
DI DESA LUMBUNG KECAMATAN PANJALU KABUPATEN CIAMIS

PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang baru terbentuk satu atau dua tahun yang lalu. Bangsa ini diciptakan melalui proses waktu yang panjang dan kerja keras dari semua elemen pembentuk bangsa. Bangsa yang pada mulanya terdiri dari kerajaan-kerajaan ini tumbuh menjadi sebuah negara kesatuan, meskipun dalam pendirian sebuah negara Indonesia yang berdaulat tidaklah mudah. Bangsa ini pernah dijajah oleh bangsa lain lebih dari 3 abad dan berulang kali mengalami pemberontakan. Namun berkat perjuangan dan keinginan untuk bersatu bangsa ini sampai saat ini masih tetap berdiri.
Bertahannya bangsa Indonesia selama berabad-abad tentunya tidak lepas dari penyesuaian-penyesuaian terhadap perubahan zaman yang senantiasa bergerak dinamis. Namun penyesuaian itu tentunya tidak menghilangkan ciri asli dari bangsa Indonesia. Sebagai contoh yang menjadi ciri utama sebuah bangsa adalah bahasa. Bahasa Indonesia sejak di ikrarkan tahun 1928 sebagai bahasa persatuan sampai saat ini masih tetap menjadi bahasa nasional tidak tersisihkan oleh bahasa asing seperti bahasa Inggris, meskipun akhir-akhir ini ada yang mengatakan tujuh dari sepuluh kata bahasa Indonesia adalah bahasa asing. Namun mungkin dengan cara seperti inilah sesuatu dapat bertahan.
Begitu pula halnya dengan tradisi atau kebiasaan masyarakat bangsa ini, seperti adat istiadat, kuliner, kepercayaan, pengobatan, dan lain-lain, sekarang satu persatu mulai hilang tergerus globalisasi. Tradisi-tradisi tersebut tidak bisa bertahan lagi karena sebagian masyarakat Indonesia berpandangan bahwa tradisi itu kuna sehingga pengaruh-pengaruh dari luar meskipun belum tentu baik untuk dirinya ditelan saja bulat-bulat karena ingin disebut modern. Sebagai contoh kebiasaan mengolah padi hingga menjadi beras. Pada zaman sekarang meskipun padi bisa tumbuh lebih cepat dari pada dahulu namun nyatanya negara ini pernah mengalami kelaparan dan gizi buruk (terlepas dari makin banyaknya penduduk dan sulitnya mencari uang) yang diakibatkan kekurangan pangan. Gagal panen akibat serangan hama dan banjir yang salah satu penyebabnya adalah acak-acakannya pola tanam dan terlalu diporsirnya tanah sehingga menyebabkan menurunnya kualitas padi, seolah-olah perubahan yang tadinya dianggap positif itu menjadi tak berarti. Namun berbeda hanya dengan surabi. Makanan yang sudah merakyat ini ketika dilakukan inovasi dengan menambahkan cita rasa lain pada surabi malah mendapat respons positif dari masyarakat. Harganya surabi menjadi tinggi dan permintaannya pun meningkat sehingga produksinya pun ditingkatkan serta akhirnya berdampak pada penambahan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Salah satu jenis tradisi di masyarakat adalah cara-cara pengobatan. Pengobatan adalah sebuah kebiasaan makhluk hidup bila dirinya terkena penyakit dan menginginkan kesembuhan. Pengobatan ini bisa dikatakan merupakan insting makhluk hidup, baik dari yang dilakukan secara sadar maupun tidak sadar. Sebagai contoh: sebagian besar kulit orang Sunda halus yang salah satunya dikarenakan dengan kebiasaan memakan lalap. Kebiasaan makan lalap ini mungkin bagi sebagian besar orang Sunda tidak begitu mengerti akan dampak yang ditimbulkan setelah memakan lalap tersebut, rata-rata orang Sunda memakan lalap sebagai lauk semata. Padahal dalam pucuk-pucuk dan buah-buahan yang dijadikan lalap itu mengandung vitamin E yang dapat menghaluskan kulit. Kemudian contoh lain adalah kebiasaan memakan sirih, keramas menggunakan sapu padi, bangun sebelum subuh, mandi pagi, berjalan kaki, dan lain-lain, yang mungkin dilakukan oleh masyarakat hanya atas dasar ikut-ikutan atau pun menghemat. Padahal dibalik itu terkandung unsur-unsur pengobatan dan perawatan terhadap kesehatan tubuh.
Dalam meneliti tradisi penulis melakukan kuliah lapangan ke desa Lumbungsari. Di sana penulis tertarik untuk mencoba mengangkat sebuah tradisi masyarakat, yaitu mengenai pengobatan. Pengobatan yang dilakukan oleh masyarakat di desa ini dengan cara menggunakan bahan-bahan yang ada di sekitar lingkungannya untuk menjaga dan mengobati tubuhnya. Selain itu aktivitas sehari-hari mereka juga ikut berperan dalam menjaga kesehatan. Oleh karena itu diharapkan dengan adanya tulisan ini tradisi pengobatan yang ada di Desa Lumbungsari dapat didokumentasikan dan mungkin saja dapat dikembangkan menjadi sebuah produk yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan hasil penelitian lapangan yang dilakukan selama dua hari satu malam di Desa Lumbungsari Kecamatan Lumbung Kabupaten Ciamis maka diperoleh beberapa gambaran mengenai permasalahan yang timbul untuk dijadikan penelitian. Namun tentunya mengingat waktu dan kesempatan penelitian yang sangat terbatas pada kesempatan ini penulis akan membatasi permasalahan yang akan di teliti, adalah:
1. Obat-obatan apa saja yang dijadikan sebagai alat untuk menyehatkan tubuh masyarakat Lumbungsari?
2. Bagai mana cara pembuatan dan penggunaan obat-obatan yang biasa digunakan oleh masyarakat Lumbungsari?

1.3. Tujuan Penelitian
Setelah menentukan objek dan permasalahan penelitian selanjutnya adalah menentukan tujuan penelitian sesuai dengan apa yang menjadi masalah dalam penelitian ini. Adapun tujuan penelitian ini adalah:
1. Mendeskripsikan obat-obatan yang biasa digunakan oleh masyarakat Lumbungsari.
2. Mendeskripsikan cara-cara pembuatan dan penggunaan obat-obatan yang biasa dilakukan oleh masyarakat Lumbungsari.
1.4. Metodologi
Metode berasal dari kata methodos (Yunani) yang artinya cara atau jalan. Di dalam upaya ilmiah, metode menyangkut masalah cara kerja, yakni cara kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Adapun yang dimaksud dengan metode ialah cara atau jalan yang ditempuh, termasuk di dalamnya adalah urutan dan alat yang dibutuhkan dalam pelaksanaan penelitian.


1.4.1 Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu deskriptif analisis. Metode tersebut dimaksudkan untuk mencatat, menuturkan dan menafsirkan data, misalnya tentang suatu set kondisi yang dialami, status kelompok manusia, suatu objek, suatu hubungan kegiatan, dan suatu pandangan sikap yang muncul bahkan, sebuah proses sistem pemikiran yang sedang berlangsung (Surachmad, 1975: 131, dalam Darsa, 1998: 7).
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi:
1. Studi pustaka, yakni mengumpulkan data-data melalui buku-buku dan sumber-sumber lain seperti internet.
2. Observasi lapangan, yakni mencari data-data pengobatan yang biasa digunakan masyarakat.
3. Mengumpulkan data-data pengobatan yang akan dijadikan objek penelitian berdasarkan hasil observasi.
Dengan langkah-langkah seperti ini diharapkan dapat diperoleh gambaran umum mengenai data pengobatan di Desa Lumbungsari.
1.5. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini berada di Desa Lumbungsari Kecamatan Lumbung Kabupaten Ciamis. Namun karena terbatasnya waktu dan kesempatan penelitian maka tidak seluruh wilayah desa dijadikan objek penelitian ini. Penulis hanya meneliti satu RT saja.






BAB II
KAJIAN TEORI
2.1 Folklor
Kata folklore berasal dari kata dalam bahasa Inggris folklore. Folklore itu dalam bahasa Inggris berasal dari dua kata yaitu folk dan lore. Folk menurut Dundes adalah sekelompok yang memiliki ciri-ciri fisik, sosial,dan kebudayaan, sehingga dapat dibedakan dari kelompok-kelompok lain dan yang terpenting mereka sudah memiliki satu tradisi,yakni kebudayaan, yang telah mereka warisi secara turun-temurun, yang telah mereka warisi secara turun-temurun sedikitnya dua generasi yang dapat mereka akui sebagai milik bersama. Disamping itu mereka sadar akan identitas kelompok mereka sendiri (Dundes: 1965: 2). Kemudian yang dimaksud dengan lore adalah tradisi folk, yaitu sebagian kebudayaannya, yang diwariskan secara turun menurun secara lisan atau suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pengingat. Dengan demikian Danandjaja menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pengertian folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda baik dalam bentuk lisan maupun contoh-contoh yang disertai gerak isyarat atau alat bantu pengingat (Danandjaja, 1994: 2).
Secara garis besar folklore dapat dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu: folklore lisan, folklor sebagian lisan,dan folklore bukan lisan (Brunvand dalam Danandjaja, 1997: 21-22). Menurut Danandjaja Tradisi lisan merupakan terjemahan dari folklore lisan. Sehingga folklore mempunyai wilayah yang lebih luas dari tradisi lisan. Selanjutnya menurut Rusyana (2006: 1) tradisi lisan merupakan bagian dari kebudayaan, oleh karena itu, tradisi lisan tentulah mempunyai hubungan dengan kebudayaan dan mencerminkan pula keadaan kebudayaan.
Sesuatu disebut tradisi apabila hal itu sudah tersedia di masyarakat, berasal dari masyarakat sebelumnya, yaitu telah mengalami penerusan turun-temurun antar generasi (Rusyana). Oleh karena itu segala sesuatu yang sekarang ada di masyarakat yang proses keberadaannya melalui penurunan dari generasi ke generasi seperti makanan tradisional, pakaian, tingkah laku, dan lain-lain itu disebut tradisi.
2.2 Obat
Obat adalah benda yang dapat digunakan untuk merawat penyakit, membebaskan gejala, atau memodifikasi proses kimia dalam tubuh. Secara khusus obat dapat diartikan semua zat baik dari alam (hewan maupun tumbuhan) atau kimiawi yang dalam takaran (dosis) yang tepat atau layak dapat menyembuhkan, meringankan atau mencegah penyakit atau gejala-gejalanya. Sederhananya obat adalah sesuatu yang pada umumnya dikonsumsi saat seseorang menderita sakit.
2.3 Obat Tradisional
Obat tradisional adalah obat-obatan yang diolah secara tradisional, turun-temurun, berdasarkan resep nenek moyang, adat-istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan setempat, baik bersifat magic maupun pengetahuan tradisional. Menurut penelitian masa kini, obat-obatan tradisional memang bermanfaat bagi kesehatan, dan kini digencarkan penggunaannya karena lebih mudah dijangkau masyarakat, baik harga maupun ketersediaannya. Obat tradisional pada saat ini banyak digunakan karena menurut beberapa penelitian tidak terlalu menyebabkan efek samping, karena masih bisa dicerna oleh tubuh.

BAB III
ANALISIS

3.1
Gambaran Umum Desa Lumbungsari
Peta Kabupaten Ciamis
Desa Lumbungsari Kecamatan Lumbung terdapat di Kabupaten Ciamis Provinsi Jawa Barat. Kabupaten ini berada di bagian tenggara Jawa Barat, berbatasan dengan Kabupaten Majalengka dan Kabupaten Kuningan di utara, Kabupaten Cilacap (Jawa Tengah) dan Kota Banjar di timur, Samudra Hindia di selatan, serta Kota Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya di barat. Sedangkan Desa Lumbungsari bagian Utara berbatasan dengan Desa Sadewata, bagian Timur dengan Desa Darmaram, bagian Selatan dengan Desa Lumbung, dan bagian Barat dengan Desa Sadewa.
Desa Lumbungsari Kecamatan Lumbung ini terdapat pada wilayah dataran tinggi. Desa ini terdapat delapan dusun, yaitu: Bungursari, Bojong Pari, Gunung Sawung, Pasirlaja, Cileungsing, Lebak Girang I, Lebak Girang II, dan Dayeuh Datar.
Sarana transportasi menuju Desa Lumbungsari Kecamatan Lumbung sudah cukup baik. Hal ini diperlihatkan dengan hamparan jalan yang hitam hingga menuju pusat desa. Selain itu untuk menuju desa ini tersedia angkutan pribadi berupa elf (mini bus) yang menghubungkan Desa Lumbungsari Kecamatan Lumbung dengan kota kabupaten ataupun ibukota provinsi.
Sarana Komunikasi dan Telekomunikasi di Desa Lumbungsari Kecamatan Lumbung sudah cukup lengkap Pelayanan antar-kirim surat, barang, dan titipan dana dapat dilakukan melalui Kantor Pos di kecamatan. Kemudian sambungan telefon-tetap telah ada dan untuk kepentingan telekomunikasi bergerak hampir semua operator selular GSM nasional dan beberapa operator CDMA telah dapat dimanfaatkan dengan cukup baik.
Desa Lumbungsari Kecamatan Lumbung meskipun merupakan desa baru (hasil pemekaran) namun bila dilihat dari fasilitas umumnya sudah cukup lengkap. Seperti gedung desa, puskesmas, sekolah dan fasilitas keagamaan sudah bisa dikatakan permanen.

3.2 Jenis Obat-Obatan Di Desa Lumbungsari
Seacara garis besar obat-obatan yang ada di Desa Lumbungsari dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu obat-obatan buatan pabrik dan obat-obatan tradisional. Kedua jenis obat-obatan ini di Desa Lumbung sari sama-sama diyakini akan khasiatnya. Namun di desa ini obat-obatan tradisional memiliki urutan pertama dalam penggunaannya. Artinya sebelum mereka membeli obat ke warung atau berobat ke puskesmas masyarakat Lumbungsari akan mencoba obat-obatan tradisional terlebih dahulu.
3.2.1 Obat Buatan Pabrik
Obat buatan pabrik adalah obat yang diproduksi dan didistribusikan secara luas. Obat ini dalam penggunaannya biasanya dibagi menjadi dua yaitu obat yang harus menggunakan resep dokter dan obat bebas yang bisa kita peroleh di warung-warung kecil.
Di Desa Lumbubgsari obat buatan pabrik dapat diperoleh di dua tempat, untuk yang harus menggunakan resep dokter dapat di peroleh di puskesmas dan itu pun hanya terbatas pada penyakit-penyakit ringan saja, seperti batuk, flu, demam, dan lain-lain. Kemudian untuk obat bebas bisa diperoleh di warung-warung, biasanya hanya terdapat obat penghilang rasa sakit atau analgesik seperti obat obat yang mengandung Parasetamol, di antaranya Saridon, Oskadon, dan Paramek. Kemudian obat flu seperti Procold, Contrex, dan Mixagrip. Obat batuk seperti Komix dan Konidin.
Berikut ini tabel kandungan obat yang umumnya terdapat dalam obat warung di desa Lumbungsari.
Obat untuk Penyakit
Kandungan dalam Obat
Manfaat
Flu atau Pilek
Parasetamol(Asetaminofen)
Penurun panas (antipiretik) dan meredakan nyeri otot dan sendi (amalgesik)
Klorpeniramin atau Difenhidramin atau Feniramin atau Tripolidin(Antihistamin)
Mengatasi alergi dan meredakan bersin.
Pseudoefedrin atau Efedrin atau Fenilefrin atau Fenilpropanolamin(Dekongestan)
Melegakan tenggorokan dan melonggarkan saluran pernapasan dengan cara mengurangi lendir.
Batuk Kering
Dextromethorpan(DMP)
Meredakan batuk kering.
Parasetamol
Menurunkan panas dan meredakan nyeri otot dan sendi.
Dextromethorphan(Antitusif)
Meredakan refleks batuk secara langsung dengan cara menekan pusat batuk baik yang berada di sumsum sambungan (medulla) atau pada pusat saraf (otak).
Batuk Berdahak
Guaifenesin dan garam ammonium guaicol(Ekspetoran)
Mengeluarkan cairan encer sehingga dahak menjadi lebih encer dan mudah dikeluarkan.
Ambroxol dan Bromexin(Mukolitik)
Mengurangi kekentalan cairan lendir.
Sakit Kepala atau Pusing
Parasetamol atau Asam Mefenamat atau Asam Asetil Salisilat
Menurunkan panas dan meredakan nyeri otot dan sendi.
Sakit Lambung atau Sakit Maag
Aluminium hidroksida dan Magnesium Hidroksida
Mengurangi nyeri lambung dengan menetralkan asam lambung.
Diare
Attapulgite dan Pectin
Mengurangi pergerakan usus.
Dalam penelitian ini penulis tidak akan membahas secara luas mengenai obat-obatan buatan pabrik karena akan lebih memfokuskan pada obat tradisional.
3.2.2 Obat Tradisional
Obat tradisional adalah obat-obatan yang diolah secara tradisional, turun-temurun, berdasarkan resep nenek moyang, adat-istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan setempat, baik bersifat magic maupun pengetahuan tradisional. Menurut penelitian masa kini, obat-obatan tradisional memang bermanfaat bagi kesehatan, dan kini digencarkan penggunaannya karena lebih mudah dijangkau masyarakat, baik harga maupun ketersediaannya. Obat tradisional pada saat ini banyak digunakan karena menurut beberapa penelitian tidak terlalu menyebabkan efek samping, karena masih bisa dicerna oleh tubuh.
Sebagaimana obat-obatan buatan pabrik obat tradisional pun memiliki jenis dan kegunaan yang beragam. Biasanya obat tradisional merupakan satu jenis tumbuhan ataupun gabungan dari beberapa jenis tumbuhan yang diproses secara sederhana untuk mengobati suatu penyakit. Sebagai contoh kunyit; kunyit secara mandiri dapat digunakan langsung untuk menghilangkan bau badan dengan cara dikonsumsi langsung ataupun diambil sarinya lalu diminum; selain itu kunyit juga dapat dicampurkan dengan tumbuhan lainnya seperti daun kahitutan, jahe, dan sebagainya untuk menormalkan kembali organ-organ tubuh wanita setelah melahirkan.

3.3 Bahan-Bahan, Cara Pembuatan, dan Cara Penggunaan Obat Tradisional
1. Obat untuk ibu yang baru melahirkan
Obat ini biasa disebut dengan sebutan sambel pait. Meskipun disebut sambel ‘sambal’ namun tidak mengacu pada sambal yang sering kita jumpai sehari-hari. Kata sambel di sini lebih mengacu pada ramuan. Hal ini sering juga diterapkan pada tembakau, para pengolah tembakau sering mengatakan kata sambel untuk membedakan tembakau yang sudah diolah dengan tembakau yang baru selesai dijemur. Adapun khasiat dari sambel pait ini adalah untuk mengeluarkan kotoran-kotoran setelah melahirkan, memperbaiki organ-organ yang berkaitan dengan kandungan dan kelahiran, menghilangkan bau amis pada alat kelamin wanita dan menghilangkan bau badan, dan dapat juga mengembalikan bentuk tubuh setelah melahirkan. Sambel pait ini sebenarnya tidak pahit (bagi orang yang terbiasa makan lalap) namun agak palal (hilang rasa di mulut) dan agak hangat. Rasa palal ini disebabkan oleh salah satu bahan, yaitu kunyit, sedangkan rasa hangat ditimbulkan dari jahe, kunci, dan merica. Adapun bahan-bahan sambel pait ini, adalah:
1. Bawang putih
2. Merica
3. Kunyit Temen
4. Lempuyang
5. Kunci
6. Jahe
7. Kacang tanah
8. Gula merah
9. Garam
10. Daun kahitutan
Bahan-bahan tersebut dicampur dalam sebuah jubleg (sejenis tempat untuk menumbuk) dengan takaran secukupnya. Pada masyarakat Lumbungsari tidak ada patokan yang pasti mengenai perbandingan bahan-bahan tersebut namun menurut mereka asal jangan terlalu manis atau terlalu asin. Kemudian untuk orang yang kurang suka dengan daun kahitutan boleh tidak menggunakannya, mengingat aroma dari daun kahitutan ini cukup menyengat.
Cara penggunaan sambel pait ini dengan cara dimakan langsung oleh ibu yang baru melahirkan baik dengan cara digado maupun dijadikan lauk untuk makan. Sebaiknya mengonsumsi sambel pait ini dilakukan selang satu hari. Tapi jika merasa bosan atau enek bisa dilakukan dua atau tiga kali dalam seminggu.

2. Obat teriris benda tajam
Untuk menghentikan pendarahan akibat teriris atau tersayat benda tajam bila besarnya luka tidak terlalu besar dan dalam masyarakat Lumbungsari bisa menggunakan:
1. Rumput Antanan dengan cara dikunyah lalu hasil kunyahan di tempelkan secara merata pada luka.
2. Getah pisang dengan cara dioleskan pada luka
3. Cabe Rawit (cengek) dengan cara di tumbuk lalu di tempelkan pada luka. Namun untuk yang satu ini rasanya perih sekali. Tetapi lebih cepat kering.
3. Obat demam
Untuk menurunkan demam pada tubuh, masyarakat Lumbungsari bisa menggunakan batang laos, adapun caranya:
1. Ambil batang laos kira-kita 50 centi meter lalu dicuci hingga bersih;
2. Tumbuk batang laos hingga berubah bentuk menjadi serat-serat kecil;
3. Batang laos yang sudah menjadi serat diperas tetapi tidak terlalu kering dan serat-serat itu dikompreskan ke dahi yang demam.
Sedangkan untuk anak dapat digunakan bawang merah, asem kawak, dan minyak kelapa diaduk menjadi satu kemudian dioleskan ke seluruh tubuh.
4. Obat kembung pada lambung
Untuk mengurangi kembung pada lambung masyarakat Lumbungsari bisa menggunakan daun kahitutan atau daun lentah, adapun cara penggunaannya dengan cara dikukus atau dibubuy (di masukan ke dalam abu panas) dengan dicampur makanan lain seperti oncom ataupun bumbu-bumbu.



5. Obat masuk angin
Untuk mengurangi gejala yang diakibatkan masuk angin seperti mual, pegal-pegal, dan pusing masyarakat Lumbungsari bisa menggunakan kerokan atau dikerok. Dikerok ini adalah mengerik kulit yang sudah diolesi minyak (kelapa dicampur kayu putih) dengan menggunakan koin (biasanya pada bagian punggung dana ada juga pada bagian dada) hingga berwarna merah pekat. Kemudian bila gejala masuk angin ini terjadi pada anak-anak maka dilakukan aktivitas yang sama namun media untuk mengeriknya adalah bawang merah.
6. Obat untuk kulit tumit pecah-pecah
Untuk mengobati penyakit seperti ini bisa menggunakan getah dari buah pepaya mentah. Caranya ambil satu buah pepaya mentah kemudian dibelah menjadi beberapa bagian. Setelah terbelah dan mengeluarkan getah maka digosokkan langsung ke tumit yang pecah-pecah.
Demikianlah sebagian obat-obatan yang biasa digunakan masyarakat Lumbungsari bila mengalami gejala-gejala penyakit ataupun sakit sesuai dengan jenisnya masing-masing. Selain itu masyarakat Lumbungsari bisa menjaga kesehatannya dengan pola hidup mereka, seperti di bawah ini:
1. Pola makan
Pola makan masyarakat Lumbungsari bisa dikatakan pola makan umum pada masyarakat petani pedesaan di Indonesia. Mereka sehari biasanya makan 2 sampai 3 kali. Makan utama atau makan besar mereka lakukan pada pagi hari sekitar pukul 06.00 dengan menu yang mengandung karbohidrat, protein, vitamin, dan mineral dengan porsi besar. Kemudian pada siang harinya mereka juga makan namun tidak dalam porsi besar dan biasanya menunya juga hanya berupa umbi-umbian dan makanan ringan saja (biasanya yang manis-manis). Sepulang dari tempat kerja mereka akan makan kembali di rumah dengan porsi secukupnya.



2. Pola tidur
Pola tidur masyarakat Lumbungsari biasanya dilakukan pada malam hari saja. Jadi tidak ada konsep tidur siang. Mereka biasa tidur pada pukul 20 atau paling malam pukul 21, kemudian mereka akan bangun kembali pada pukul 04 atau biasa disebut waktu tarhim. Setelah itu mereka tidak tidur lagi hingga malam menjelang.
3. Pekerjaan
Rata-rata masyarakat Lumbungsari yang tinggal di desa bekerja sebagai petani atau peternak ikan. Kedua pekerjaan ini membutuhkan aktivitas tubuh yang tinggi, sehingga tubuh-tubuh masyarakat Lumbungsari setiap harinya bergerak aktif.
Selain untuk manusia obat-obatan tradisional di desa Lumbungsari juga digunakan untuk hewan.
1. Obat untuk ikan lele
Ikan lele biasanya bila mengalami terlalu sering ganti air atau air di kolam ikan lele terlalu deras mengalirnya maka ikan lele akan borok-borok karena lendir yang melindungi kulitnya berkurang. Untuk mengobati penyakit tersebut masyarakat di desa Lumbungsari biasa menggunakan batang pohon pisang, dengan cara di potong kecil-kecil lalu disebarkan di kolam ikan lele.
2. Obat untuk menyetabilkan PH air untuk ikan
Bila air kolam PH-nya tidak sesuai dengan yang dibutuhkan ikan maka akan menghambat pertumbuhan ikan. Untuk mengatasi hal seperti ini masyarakat di desa Lumbungsari biasa menggunakan daun Ki Rinyuh untuk menyetabilkan PH air.



3.4 Pembahasan
Tradisi pengobatan di desa Lumbungsari secara umum tidak berbeda dengan masyarakat-masyarakat di pedesaan lainnya. Mereka menggunakan obat-obatan tradisional terlebih dahulu dalam menangani penyakit yang mereka alami baik itu pada manusia maupun pada hewan peliharaan. Kemudian bila belum memperlihatkan gejala sembuh maka mereka berangkat ke mantri atau ke puskesmas yang terdapat di balai desa. Obat-obatan tradisional itu menurut pengakuan masyarakat di desa Lumbungsari ampuh untuk mengobati penyakit tidak kalah dengan obat-obatan buatan pabrik.
Obat yang berfungsi untuk menyembuhkan penyakit, tentunya tidak harus berasal dari pabrik ataupun harganya mahal. Adakalanya obat tradisional yang berasal dari barang-barang yang murah dan sering kita jumpai sehari-hari malah lebih mujarab.
Berdasarkan hasil pemupuan data di desa Lumbungsari penulis mendapatkan banyak data mengenai obat-obatan tradisional. Namun seiring berjalannya waktu dan semakin dituntutnya kepraktisan dalam segala hal, tidak jarang obat-obatan tradisional yang dimiliki masyarakat desa Lumbungsari satu persatu hilang dari ingatan masyarakat. Hal ini karena jarang digunakan dan kurang praktisnya penggunaan obat-obatan tradisional. Selain itu obat-obatan tradisional yang diolah secara mendadak dan berasal dari bahan-bahan yang segar tidak tahan lama. Oleh karena itu dalam tulisan ini penulis berharap adanya tindak lanjut penelitian terhadap obat-obatan tradisional sehingga tradisi yang satu ini dapat tetap hidup karena sebagaimana dikatakan para ahli obat-obatan tradisional itu murah dan sangat rendah efek sampingnya.







Daftar Pustaka dan Bacaan

Buku :
Danandjaja, James. 1994. Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti Pers.
Darsa, Undang Ahmad. 2002/2003, Metode Penelitian Filologi. Jatinangor: Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran.
Propp, Vladimir. 1987. Morfologi Cerita Rakyat. Kuala Lumpur: Sais Baru Sdn. Bhd.
Rusyana, Yus. 2006. Peran Tradisi Lisan Nusantara (Makalah). Jakarta: Ditjen Nilai Budaya, Seni dan Filem, Departemen Budaya dan Pariwisata.
-----------. Penelitian Sastra Lisan (Makalah).
-----------. Menjadikan Tradisi Sebagai Tumpuan Kreativitas (makalah).

Kamus :
Danadibrata, R.A. 2003. Kamus Umum Basa Sunda. Bandung: PT Kiblat.
Depdikbud, 1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka



Website :
www.wilkipedia.com
www.infosehat.com


Data nara sumber
1
Nama : Ajat Sudrajat
Usia : 45 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Petani (Ikan)
Alamat : Desa Lumbungsari Kecamatan Lumbung Kab. Ciamis
Keterangan : Mendapatkan ilmu pengobatan dari orang tuanya
Tanggal wawancara : Sabtu 31 Januari 2009
2
Nama :
Usia :
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pekerjaan sampingan : Tukang pijit
Alamat : Desa Lumbungsari Kecamatan Lumbung Kab. Ciamis
Keterangan : Mendapatkan ilmu pengobatan dari orang tuanya
Tanggal wawancara : Sabtu 31 Januari 2009
3
Nama :
Usia :
Jenis kelamin : Wanita
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Desa Lumbungsari Kecamatan Lumbung Kab. Ciamis
Keterangan : Mendapatkan ilmu pengobatan dari orang tuanya
Tanggal wawancara : Sabtu 31 Januari 2009

Rabu, 15 April 2009

NASKAH KUNA PADA MASA PRA-ISLAM
Naskah kuno pada masa PraIslam sebagaian besar terdapat di mandala. Mandala adalah komleks tempat kegiatan keagamaan pada pra Islam. Para pendeta melakukan kegiatan sehari-hari yang bertalian dengan pendidikan agama, penyebarluasan ilmu pengetahuan dan menerima kunjungan pejabat negara dan rakyat pada umumnya. Diakui keberadaanya, dilindungi keberadaaanya dan dijamin kehidupanya oleh raja penghuninya biasa di sebut nu keur tapa di mandala (sedang bertapa di mandala), disebut pula Kabuyutan.(Ensiklopedi Sunda-2000)
Salah satu contoh mandala adalah kabuyutan Ciburuy yang berada di kampung Ciburuy desa pamalayan Kecamatan Bayongbong (Ensiklopedi Garut,2007). Luas area situs Ciburuy saat ini adalah 600 m2. Berada di kaki gunung Cikuray atau pada jaman dulu disebut ”Gunung Larang Srimanganti” (Darsa, A Undang, 2008), berjarak 4,5 km dari kecamatan Bayongbong atau 17,5 km dari pusat kota Garut. Lalu kenapa kabuyutan Ciburuy di sebut mandala?
Setalah beberapa kali penulis berkunjung ke tempat tersebut, di dalam situs Ciburuy terdapat enam bagian tempat yaitu: Patamuan berguna sebagai tempat menerima tamu. Setiap tamu yang akan berkunjung ke area situs Ciburuy harus diterima terlebih dahulu di ruangan ini. Selain itu ruangan patamuan digunakan sebagai ruang serba guna, karena pada saat upacara seba para ibu memasak di tempat ini berikut menyimpan makanan yang telah di sediakan serta pada saat mengawali malam puncak upacara seba dilaksanakan pula di tempat ini. Padaleman, merupakan tempat yang sangat suci. Saat in tempat tersebut dipergunakan sebagai tempat penyimpanan benda pusaka, tetapi dimungkinkan pada jaman dahulu tempat ini dipergunakan sebagai tempat pembelajaran. Karena untuk memasuki tempat ini harus melewati tiga tempat. pangalihan tempat penyimpanan sementara benda pusaka pada saat ruang padaleman dibersihkan ,pangsolatan dahulunya tempat solat. Leuit tempat penyimpanan padi, saung lisung tempat menumbuk padi.
Pada jaman kerajaan pra Islam mandala merupakan tempat yang sangat penting bagi kejayaan suatu kerajaan. Hal ini didasarkan pada pertama adanya istilah “Sing saha raja anu teu bisa miara kabuyutan, lir ibarat kulit careuh nu dipiceun kana runtah “ Siapapun raja yang tidak bisa menjaga mandala, maka ia bagaikan kulit musang yang di buang kedalam sampah (Darsa, A Undang, 2009), jadi alangkah hinanya seorang raja yang menelantarkan mandala, sampai-sampai di samakan dengan kulit seekor binatang.
Kedua “Apabila sebuah mandala pada satu kerajaan telah dikuasai musuh, maka kerajaan tersebut telah kalah perangan dan menjadi penguasaan musuh, meskipun pusat kerajaanya belum di kuasai musuh. Meskipun pusat kerajaanya sudah di kuasai musuh tapi mandalanya masih terkuasai, maka kerajaan tersebut belum dinyatakan kalah perang
Periodeisasi mandala didasarkan pada keberadaan kerajaan praislam. Untuk di sunda berarti dimulai pada saat kerajaan tarumanagara berdiri dari abad ke 5 sampai 1567 masehi. (Gubernur Jawa Barat Dari Masa ke Masa, 2007). Dalam mandala kenaikan tingkat di dasarkan pada penguasaan materi. Adapun materi ajarnya tentang agama, ilmu pengetahuan dan bela diri. Pada saat media tulis yang di gunakan adalah daun yaitu jenis palem-paleman seperti lontar dan nipah Sangat dimunmgkinkan kita menemukan keberadaan naskah di tempat lain, tapi itu kemungkinanya sangat kecil, karena tingkat keasaman daun-daunan sangat tinggi jadi cepat rusak.
Ringkasan Bujanggamanik
Bujangga Manik mitembeyan lalampahan kahijina ngaliwatan wewengkon Puncak. Waktu Bujangga Manik leumpang nanjak ka wewengkon Puncak, anjeuna reureuh heula, diuk, ngipasan awak sarta nempokeun kaéndahan alam hususna Gunung Gedé anu dina rumpaka ka 59 nepi ka 64, disebut ku anjeunna sabagé titik pangluhurna nu aya di dayeuh Pakuan (ibukota Karajaan Sunda).
Ti Puncak, anjeunna neruskeun lalampahan nepi ka meuntas Cipamali (ayeuna mindeng disebut Kali Brebes ) pikeun asup ka wewengkon Jawa. Di wewengkon Jawa anjeunna mapay-mapay patempatan anu kawengku ku Majapait. Patempatan anu kawengku ku karajaan Demak (alas Demak) ogé kaliwatan. Sadatang di Pamalang, Bujangga Manik nineung ka ambuna (rumpaka 89) sarta buleud haté pikeun balik. Tapi dina mangsa ieu, anjeunna leuwih milih jalan laut nyaéta naék kapal anu datang ti Malaka. Kasultanan Malaka mimiti pertengahan abad ke-15 nepi ka ditalukkeunna ku Portugis ngawasa perdagangan di laut.
Miangna kapal ti darmaga digambarkeun kawas upacara pésta (rumpaka 96-120): bedil ditémbakkeun tujuh kali, pakakas musik ditabeuh, sawatara lagu ditembangkeun kalayan tarik ku awak kapal; bahan-bahan anu nyusun kapal ogé diwincik ku Bujangga Manik; aya awi gombong jeung awi nyowana. Bahan tina hoé ogé aya rupa-rupa, hoé muka, hoé omas jeung hoé walatung. Tihang kapal dijieun tina kai laka. Bujangga Manik ogé helok ningali awak kapal anu asalna ti réa sélér.
Lalampahan ti Pamalang ka Sunda Kalapa, palabuhan Karajaan Sunda, dilayaran sajero waktu satengah bulan. (rumpaka 121), anu méré gambaran yén kapal anu ditumpakan téh nyimpang ka sababaraha patempatan nu aya diantara Pamalang jeung Kalapa. Tina palayaran kasebut, Bujangga Manik nyieun ngaran landihan séjénna nyaéta Ameng Layaran.
Ti Sunda Kalapa, Bujangga Manik ngaliwatan Pabéyaan sarta neruskeun lalampahan ka karaton di Pakuan, di bagian kidul dayeuh Bogor kiwari (Noorduyn 1982:419). Bujangga Manik asup ka Pakancilan (rumpaka 145), terus asup ka balé réncéng (paviliun) anu diréka-réka (didekorasi) sarta tuluy diuk di dinya. Bujanga Manik nempo ambuna keur ninun (cara ninunna dijelaskeun dina rumpaka 160-164). Ambuna kagét jeung bungah nempo anakna mulang. Anjeunna geura-giru ninggalkeun pagawéan ninunna sarta asup ka imah nyingkabkeun sawatara kasang carita (hordéng) nu aya rarawisanna, sarta unggah kana ranjang. Ambuna Bujangga Manik nyiapkeun pangbagéa ka anakna, nyokot sabaki seupaheun, mérésan rambut, sarta maké kaén mahal. Anjeunna terus turun tina ranjang, kaluar ti imah, nuju ka balé réncéng sarta ngabagéakeun anakna. Bujangga Manik nampa seupaheun anu disuguhkeun ku ambuna.
Dina bagian saterusna, dicaritakeun ngeunaan putri Ajung Larang Sakéan Kilat Bancana. Emban Jompong Larang ninggalkeun kadaton, meuntasan Cipakancilan sarta datang ka karaton Bujangga Manik. Di karaton kasebut Jompong Larang paamprok jeung Bujangga Manik. Jompong Larang kataji pisan ku Bujangga Manik (rumpaka 267-273).
Samulangna ka kadaton, Jompong Larang manggihan putri Ajung Larang anu pareng keur riweuh ninun. Sang putri ngabogaan ebun Cina beunang ngimpor ti mancanagara (rumpaka 284-290), nempo Jompong Larang anu geura-giru, naék ka manggung sarta saterusna diuk di gigireun sang putri. Putri nanyakeun talatah naon anu dibawana; Jompong Larang ngomong yén manéhna nempo lalaki anu pohara kasép, sabanding pikeun putri Ajung Larang. Manéhna nyaritakeun yén Ameng Layaran leuwih kasép batan Banyak Catra atawa Silih Wangi, atawa ponakan sang putri (rumpaka 321), atawa saha waé. Leuwih ti éta, lalaki éta singer nyieun karya sastra dina daun nipah sarta bisa basa Jawa (rumpaka 327). Putri Ajung Larang langsung ngarasa kapentang asmara. Anjeunna saterusna ngeureunkeun pagawéan ninunna sarta asup ka imah nyiapkeun hadiah pikeun Bujangga Manik ti mimiti seupaheun jeung perhiasan sarta barang nu éndah lianna kalayan ati-ati. Putri ogé ngahadiahkeun rupa-rupa parfum ti mancanagara anu pohara mahalna, baju katut keris anu éndah.
Ambuna Bujangga Manik ngadesek anakna pikeun nampa hadiah ti putri Ajung Larang, saterusna ngagambarkeun kageulisan putri sarta pujian séjénna. Ambuna Bujangga Manik ogé nyarita yén putri bakal sumerah diri ka Bujangga Manik. Saterusna anjeunna ngedalkeun kecap-kecap anu henteu kungsi ditepikeun ku putri Ajung Larang "Kuring baris sumerah diri. Kuring baris nyamber kawas heulang, ngerekeb kawas maung, ménta ditarima jadi kikindeuwan" (rumpaka 530-534). Ameng Layaran reuwas ngadéngé uucapan ambuna sarta nyebutkeun yén éta téh ucapan larangan (carek larangan) sarta buleud haté pikeun nampik hadiah kasebut (rumpaka 548-650). Manéhna ménta ambuna marengan Jompong Larang pikeun mulangkeun hadiah kasebut sarta ngupahan ka putri Ajung Larang. Manéhna leuwih resep hirup nyorangan sarta ngajaga ajaran anu katarima salila lalampahanana ka Jawa, di hiji pasantrén di lamping Gunung Merbabu (anu ku manéhna disebut Gunung Damalung sarta Pamrihan). Pikeun éta pisan Bujangga Manik kapaksa kudu ninggalkeun deui ambuna. (jajar 649-650).
Bujangga Manik nyokot kantong anu eusina buku gedé (apus ageung) sarta siksaguru, ogé iteuk hoé sarta pecut. Manéhna saterusna ngomong yén baris indit deui ka wétan, ka tungtung wétan pulo Jawa pikeun néangan patempatan pikeun jaga manéhna dikuburkan, pikeun néangan "laut pikeun palid, hiji tempat pikeun pupusna, hiji tempat pikeun ngagolérkeun awakna" (663-666). Kalayan kecap-kecap anu dramatis ieu anjeunna ninggalkeun karaton sarta mitembeyan pangumbaraan panjangna, sarta henteu kungsi balik deui.Bujangga Manik neruskeun lalampahanana ka wétan, nuliskeun réa pisan ngaran patempatan anu sawaréh masih dipaké nepi ka kiwari.
Garis besar isi Carita Parahiyangan
Cerita diawali dengan kemunculan tokoh Sang Resi Guru yang berkedudukan di wilayah Kendam dan pengisahanya cukup terurai diselingi bentuk dialog para tokohnya. Resi Guru berputra Rajaputra, kemudian Rajaputra menurunkan dua orang anak, Sang Kandiawan dan Sang Kandiawati. Sang Kandiawan disebut juga dengan Rahyangta Dewaraja dan bertahta di Medangjati. Ia berputra lima orang yang masing-masing adalah Sang Mangukuhan, Sang Karungkalah, Sang Katungmaralah, Sang Sandanggreba, dan Sang Wretikandayun. Sang Wretikandayun adalah pendiri kerajaan Galuh, dan berputra tiga orang, yaitu Rahyang Sempakwaja, Rahyangtang Kedul, dan Rahyangtang Mandiminyak. Yang sekaligus mewariskan tahtanya dari ayahnya. Periode kerajaan Galuh inilah yang merupakan inti kisah bagian pertama Carita Parahyangan.
Bagian kedua mengisahkan periode Pakuan Pajajaran yang uraianya cenderung lebih singkat karena lebih banyak memuat daftar raja yang disebut lama masa pemerintahanya, kecuali tokoh Rakeyan Darmasiksa dan Prebu Niskala Wastukancana. Dikisahkan pula mengenai periode Jawa Pawwatan yang berawal dengan kemunculan tokoh Manarah, dan tokoh Rahyang Banga yang memperoleh bagian kerajaan Pakuan Pajajaran. Dalam hal ini, peranan tokoh Sanyjaya cukup menonjol karena ia sendiri mendapat restu dari Tohaan di Sunda (Maharaja Trarusbawa).
oleh
Moch. Ilham Ansyori
Agus Mahardika
Azwar Munandar
Mega Priyatna
Tresa Reksa Buana

Kamis, 02 April 2009



wadya balad pamass dimana wae ayana
hayu urang rempug jukung, paheuyeuk-heuyeuk leungeun
nyukseskeun program-program pamass
pamass lain musuh.....
pamass lain masalah.....
pamass lain milik kuncen, angkatan, alumni, jurusan tapi milik urang sarerea (sakumaha dina AD/ART)
ku kituna ti semet ayeuna urang wangun deui kakulawargaan di pamass
diantos komentarna ti wadya balad pamass

BIMA

Para Pejuang