Kamis, 18 Juni 2009

DITINJAU DARI SEJARAH PERKEMBANGAN SERTA PERANANNYA DALAM MENUNJANG PENDIDIKAN KEPRIBADIAN BANGSA

Oleh :
Sutini. BA

SEJARAH PERKEMBANGAN KESENIAN WAYANG

Kesenian wayang dalam bentuknya yang asli timbul sebelum kebudayaan Hindu masuk di Indonesia dan mulai berkembang pada jaman Hindu Jawa.
Pertunjukan Kesenian wayang adalah merupakan sisa-sisa upacara keagamaan orang Jawa yaitu sisa-sisa dari kepercayaan animisme dan dynamisme. Tentang asal-usul kesenian wayang hingga dewasa ini masih merupakan suatu masalah yang belum terpecahkan secara tuntas. Namun demikian banyak para ahli mulai mencoba menelusuri sejarah perkembangan wayang dan masalah ini ternyata sangat menarik sebagai sumber atau obyek penelitian. Menurut Kitab Centini, tentang asal-usul wayang Purwa disebutkan bahwa kesenian wayang, mula-mula sekali diciptakan oleh Raja Jayabaya dari Kerajaan Mamenang / Kediri. Sektar abad ke 10 Raja Jayabaya berusaha menciptakan gambaran dari roh leluhurnya dan digoreskan di atas daun lontar. Bentuk gambaran wayang tersebut ditiru dari gambaran relief cerita Ramayana pada Candi Penataran di Blitar. Ceritera Ramayana sangat menarik perhatiannya karena Jayabaya termasuk penyembah Dewa Wisnu yang setia, bahkan oleh masyarakat dianggap sebagai penjelmaan atau titisan Batara Wisnu. Figur tokoh yang digambarkan untuk pertama kali adalah Batara Guru atau Sang Hyang Jagadnata yaitu perwujudan dari Dewa Wisnu.

Masa berikutnya yaitu pada jaman Jenggala, kegiatan penciptaan wayang semakin berkembang. Semenjak Raja Jenggala Sri Lembuami luhur wafat, maka pemerintahan dipegang oleh puteranya yang bernama Raden Panji Rawisrengga dan bergelar Sri Suryawisesa. Semasa berkuasa Sri Suryawisesa giat menyempurnakan bentuk wayang Purwa. Wayang-wayang hasil ciptaannya dikumpulkan dan disimpan dalam peti yang indah. Sementara itu diciptakan pula pakem ceritera wayang Purwa. Setiap ada upacara penting di istana diselenggarakan pagelaran Wayang Purwa dan Sri Suryawisesa sendiri bertindak sebagal dalangnya.

Para sanak keluarganya membantu pagelaran dan bertindak sebagai penabuh gamelan. Pada masa itu pagelaran wayang Purwa sudah diiringi dengan gamelan laras slendro. Setelah Sri Suryawisesa wafat, digantikan oleh puteranya yaitu Raden Kudalaleyan yang bergelar Suryaamiluhur. Selama masa pemerintahannya beliau giat pula menyempurnakan Wayang. Gambar-gambar wayang dari daun lontar hasil ciptaan leluhurnya dipindahkan pada kertas dengan tetap mempertahankan bentuk yang ada pada daun lontar. Dengan gambaran wayang yang dilukis pada kertas ini, setiap ada upacara penting di lingkungan kraton diselenggarakan pagelaran wayang.

Pada jaman Majapahit usaha melukiskan gambaran wayang di atas kertas disempurnakan dengan ditambah bagian-bagian kecil yang digulung menjadi satu. Wayang berbentuk gulungan tersebut, bilamana akan dimainkan maka gulungan harus dibeber. Oleh karena itu wayang jenis ini biasa disebut wayang Beber. Semenjak terciptanya wayang Beber tersebut terlihat pula bahwa lingkup kesenian wayang tidak semata-mata merupakan kesenian Kraton, tetapi malah meluas ke lingkungan diluar istana walaupun sifatnya masih sangat terbatas. Sejak itu masyarakat di luar lingkungan kraton sempat pula ikut menikmati keindahannya. Bilamana pagelaran dilakukan di dalam istana diiringi dengan gamelan laras slendro. Tetapi bilamana pagelaran dilakukan di luar istana, maka iringannya hanya berupa Rebab dan lakonnya pun terbatas pada lakon Murwakala, yaitu lakon khusus untuk upacara ruwatan. Pada masa pemerintahan Raja Brawijaya terakhir, kebetulan sekali dikaruniai seorang putera yang mempunyai keahlian melukis, yaitu Raden Sungging Prabangkara. Bakat puteranya ini dimanfaatkan oleh Raja Brawijaya untuk menyempurkan wujud wayang Beber dengan cat. Pewarnaan dari wayang tersebut disesuaikan dengan wujud serta martabat dari tokoh itu, yaitu misalnya Raja, Kesatria, Pendeta, Dewa, Punakawan dan lain sebagainya. Dengan demikian pada masa akhir Kerajaan Majapahit, keadaan wayang Beber semakin Semarak. Semenjak runtuhnya kerajaan Majapahit dengan sengkala ; Geni murub siniram jalma ( 1433 / 1511 M ), maka wayang beserta gamelannya diboyong ke Demak. Hal ini terjadi karena Sultan Demak Syah Alam Akbar I sangat menggemari seni kerawitan dan pertunjukan wayang.

Pada masa itu sementara pengikut agama Islam ada yang beranggapan bahwa gamelan dan wayang adalah kesenian yang haram karena berbau Hindu. Timbulnya perbedaan pandangan antara sikap menyenangi dan mengharamkan tersebut mempunyai pengaruh yang sangat penting terhadap perkembangan kesenian wayang itu sendiri. Untuk menghilangkan kesan yang serba berbau Hindu dan kesan pemujaan kepada arca, maka timbul gagasan baru untuk menciptakan wayang dalam wujud baru dengan menghilangkan wujud gambaran manusia. Berkat keuletan dan ketrampilan para pengikut Islam yang menggemari kesenian wayang, terutama para Wali, berhasil menciptakan bentuk baru dari Wayang Purwa dengan bahan kulit kerbau yang agak ditipiskan dengan wajah digambarkan miring, ukuran tangan di-buat lebih panjang dari ukuran tangan manusia, sehingga sampai dikaki. Wayang dari kulit kerbauini diberi warna dasar putih yang dibuat dari campuran bahan perekat dan tepung tulang, sedangkan pakaiannya di cat dengan tinta.

Pada masa itu terjadi perubahan secara besar- besaran diseputar pewayangan. Disamping bentuk wayang baru, dirubah pula tehnik pakelirannya, yaitu dengan mempergunakan sarana kelir / layar, mempergunakan pohon pisang sebagai alat untuk menancapkan wayang, mempergunakan blencong sebagai sarana penerangan, mempergunakan kotak sebagai alat untuk menyimpan wayang. Dan diciptakan pula alat khusus untuk memukul kotak yang disebut cempala. Meskipun demikian dalam pagelaran masih mempergunakan lakon baku dari Serat Ramayana dan Mahabarata, namun disana- sini sudah mulai dimasukkan unsur dakwah, walaupun masih dalam bentuk serba pasemon atau dalam bentuk lambang-lambang. Adapun wayang Beber yang merupakan sumber, dikeluarkan dari pagelaran istana dan masih tetap dipagelarkan di luar lingkungan istana.

Pada jaman pemerintahan Sultan Syah Alam Akbar III atau Sultan Trenggana, perwujudan wayang kulit semakin semarak. Bentuk-bentuk baku dari wayang mulai diciptakan. Misalnya bentuk mata, diperkenalkan dua macam bentuk liyepan atau gambaran mata yang mirip gabah padi atau mirip orang yang sedang mengantuk. Dan mata telengan yaitu mata wayang yang berbentuk bundar. Penampilan wayang lebih semarak lagi karena diprada dengan cat yang berwarna keemasan.

Pada jaman itu pula Susuhunan Ratu Tunggal dari Giri, berkenan menciptakan wayang jenis lain yaitu wayang Gedog. Bentuk dasar wayang Gedog bersumber dari wayang Purwa. Perbedaannya dapat dilihat bahwa untuk tokoh laki-laki memakai teken. Lakon pokok adalah empat negara bersaudara, yaitu Jenggala, Mamenang / Kediri, Ngurawan dan Singasari. Menurut pendapat Dr. G.A.J. Hazeu, disebutkan bahwa kata "Gedog" berarti kuda. Dengan demikian pengertian dari Wayang Gedog adalah wayang yang menampilkan ceritera-ceritera Kepahlawanan dari "Kudawanengpati"atau yang lebih terkenal dengan sebutan Panji Kudhawanengpati. Pada pagelaran wayang Gedog diiringi dengan gamelan pelog. Sunan Kudus salah seorang Wali di Jawa menetapkan wayang Gedog hanya dipagelarkan di dalam istana. Berhubung wayang Gedog hanya dipagelarkan di dalam istana, maka Sunan Bonang membuat wayang yang dipersiapkan sebagai tontonan rakyat, yaitu menciptakan wayang Damarwulan . Yang dijadikan lakon pokok adalah ceritera Damarwulan yang berkisar pada peristiwa kemelut kerajaan Majapahit semasa pemerintahan Ratu Ayu Kencana Wungu, akibat pemberontakan Bupati Blambangan yang bernama Minak Jinggo.

Untuk melengkapi jenis wayang yang sudah ada, Sunan Kudus menciptakan wayang Golek dari kayu. Lakon pakemnya diambil dari wayang Purwa dan diiringi dengan gamelan Slendro, tetapi hanya terdiri dari gong, kenong, ketuk, kendang, kecer dan rebab. Sunan Kalijaga tidak ketinggalan juga, untuk menyemarakkan perkembangan seni pedalangan pada masa itu dengan menciptakan Topeng yang dibuat dari kayu. Pokok ceriteranya diambil dari pakem wayang Gedog yang akhirnya disebut dengan topeng Panji. Bentuk mata dari topeng tersebut dibuat mirip dengan wayang Purwa. Pada masa Kerajaan Mataram diperintah oleh Panembahan Senapati atau Sutawijaya, diadakan perbaikan bentuk wayang Purwa dan wayang Gedog. Wayang ditatah halus dan wayang Gedog dilengkapi dengan keris.
Disamping itu baik wayang Purwa maupun wayang Gedog diberi bahu dan tangan yang terpisah dan diberi tangkai. Pada masa pemerintahan Sultan Agung Anyakrawati, wayang Beber yang semula dipergunakan untuk sarana upacara ruwatan diganti dengan wayang Purwa dan ternyata berlaku hingga sekarang. Pada masa itu pula diciptakan beberapa tokoh raksasa yang sebelumnya tidak ada, antara lain Buto Cakil. Wajah mirip raksasa, biasa tampil dalam adegan Perang Kembang atau Perang Bambangan.

Perwujudan Buta Cakil ini merupakan sengkalan yang berbunyi: Tangan Jaksa Satataning Jalma ( 1552 J / 1670 M ). Dalam pagelaran wayang Purwa tokoh Buta Cakil merupakan lambang angkara murka. Bentuk penyempurnaan wayang Purwa oleh Sultan Agung tersebut diakhiri dengan pembuatan tokoh raksasa yang disebut Buta Rambut Geni, yaitu merupakan sengkalan yang berbunyi Urubing Wayang Gumulung Tunggal: ( 1553 J / 1671 M ). Sekitar abad ke 17, Raden Pekik dari Surabaya menciptakan wayang Klitik, yaitu wayang yang dibuat dari kayu pipih, mirip wayang Purwa. Dalam pagelarannya dipergunakan pakem dari ceritera Damarwulan, pelaksanaan pagelaran dilakukan pada siang hari.
Pada tahun 1731 Sultan Hamangkurat I menciptakan wayang dalam bentuk lain yaitu wayang Wong. Wayang wong adalah wayang yang terdiri dari manusia dengan mempergunakan perangkat atau pakaian yang dibuat mirip dengan pakaian yang ada pada wayang kulit.

Dalam pagelaran mempergunakan pakem yang berpangkal dari Serat Ramayana dan Serat Mahabarata. Perbedaan wayang Wong dengan wayang Topeng adalah ; pada waktu main, pelaku dari wayang Wong aktif berdialog; sedangkan wayang Topeng dialog para pelakunya dilakukan oleh dalang.
Pada jaman pemerintahan Sri Hamangkurat IV; beliau dapat warisan Kitab Serat Pustakaraja Madya dan Serat Witaraja dari Raden Ngabehi Ranggawarsito. Isi buku tersebut menceriterakan riwayat Prabu Aji Pamasa atau Prabu Kusumawicitra yang bertahta di negara Mamenang / Kediri.
Kemudian pindah Kraton di Pengging. Isi kitab ini mengilhami beliau untuk menciptakan wayang baru yang disebut wayang Madya. Ceritera dari Wayang Madya dimulai dari Prabu Parikesit, yaitu tokoh terakhir dari ceritera Mahabarata hingga Kerajaan Jenggala yang dikisahkan dalam ceritera Panji.
Bentuk wayang Madya, bagian atas mirip dengan wayang Purwa, sedang bagian bawah mirip bentuk wayang gedog. Semasa jaman Revolusi fisik antara tahun 1945 - 1949, usaha untuk mengumandangkan tekad pejuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia dilakukan dengan berbagai cara.

Salah satu usaha ialah melalui seni pedalangan. Khusus untuk mempergelarkan ceritera- ceritera perjuangan tersebut, maka diciptakanlah wayang Suluh.
Wayang Suluh berarti wayang Penerangan, karena kata Suluh berarti pula obor sebagai alat yang biasa dipergunakan untuk menerangi tempat yang gelap. Bentuk wayang Suluh, baik potongannya maupun pakaiannya mirip dengan pakaian orang sehari-hari.
Bahan dipergunakan untuk membuat wayang Suluh ada yang berasal dari kulit ada pula yang berasal dari kayu pipih. Ada sementara orang berpendapat bahwa wayang suluh pada mulanya lahir di daerah Madiun yang di ciptakan oleh salah seorang pegawai penerangan dan sekaligus sebagai dalangnya. Tidak ada bentuk baku dari wayang Suluh, karena selalu mengikuti perkembangan jaman. Hal ini disebabkan khususnya cara berpakaian masyarakat selalu berubah, terutama para pejabatnya .

PERANAN WAYANG DALAM MENUNJANG PENDIDIKAN KEPRIBADIAN BANGSA.

Secara lahiriah, kesenian wayang merupakan hiburan yang mengasyikkan baik ditinjau dari segi wujud maupun seni pakelirannya. Namun demikian dibalik apa yang tersurat ini terkandung nilai adiluhung sebagai santapan rohani secara tersirat.
Peranan seni dalam pewayangan merupakan unsur dominan. Akan tetapi bilamana dikaji secara mendalam dapat ditelusuri nilai-nilai edukatif yang sangat penting dalam kehidupan manusia.
Unsur-unsur pendidikan tampil dalam bentuk pasemon atau perlambang. Oleh karena itu sampai dimana seseorang dapat melihat nilai- nilai tersebut tergantung dari kemampuan menghayati dan mencerna bentuk-bentuk simbol atau lambang dalam pewayangan. Dalam lakon-lakon tertentu misalnya baik yang diambil dari Serat Ramayana maupun Mahabarata sebenarnya dapat diambil pelajaran yang mengandung pendidikan. Bagaimana peranan Kesenian Wayang sebagai sarana penunjang Pendidikan Kepribadian Bangsa, rasanya perlu mendapat tinjauan secara khusus. Berdasarkan sejarahnya, kesenian wayang jelas lahir di bumi Indonesia. Sifat local genius yang dimiliki bangsa Indonesia, maka secara sempurna terjadi pembauran kebudayaan asing, sehingga tidak terasa sifat asingnya.

Berbicara kesenian wayang dalam hubungannya dengan Pendidikan Kepribadian Bangsa tidak dapat lepas dari pada tinjauan kesenian wayang itu sendiri dengan falsafah hidup bangsa Indonesia yaitu Pancasila. Pancasila sebagai falsafah negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia, merupakan ciri khusus yang dapat membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa lain. Pancasila adalah norma yang mengatur tingkah laku dan perikehidupan bangsa. Menurut TAP MPR - Rl No. II/ MPR/1993 tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara ; disitu ditandaskan bahwa untuk mewujudkan tujuan nasional sebagaimana termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. perlu menetapkan Ketetapan yang mengatur Garis- Garis Besar Haluan Negara yang didasarkan atas aspirasi dan Kepribadian Bangsa demi penghayatan dan pengamalan kehidupan kenegaraan yang demokratis - konstitusional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Pengertian Kepribadian Bangsa adalah suatu ciri khusus yang konsisten dari bangsa Indonesia yang dapat memberikan identitas khusus, sehingga secara jelas dapat dibedakan dengan bangsa lain. Rumusan Pancasila secara resmi ditetapkan dengan syah sebagai falsafah Negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia sejak berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea 4 tercanang rumusan Pancasila yang berbunyi:

Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia. dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jiwa Pancasila seperti yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut, bukanlah masalah yang baru dalam dunia pewayangan.

* Asas Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam dunia pewayangan dikenal tokoh yang biasa disebut "Hyang Suksma Kawekas" Tokoh ini tidak pernah diwujudkan dalam bentuk wayang, tetapi diakui sebagai Dewa yang Tertinggi. Tokoh Dewa - Dewa yang diwujud kan dalam bentuk wayang, misalnya: Batara Guru, Batara Narada, Batara Wisnu, Batara Brahma, Batara Kamajaya dan lain sebagainya dalam pewayangan digambarkan seperti manusia biasa. Mereka juga dilukiskan memiliki watak serta tabiat yang banyak persamaannya dengan manusia lumrah. Dalam ceritera-ceritera mereka sering pula berbuat salah, bahkan tidak jarang terpaksa minta bantuan manusia dalam menghadapi hal-hal tertentu. Kekawin Arjunawiwaha misalnya, merupakan contoh yang jelas. Pada saat raksasa Nirwatakawaca mengamuk di Suralaya karena maksudnya meminang Dewi Supraba ditolak para Dewa. Para Dewa tidak mampu menghadapinya. Untuk mengamankan Suralaya para Dewa minta bantuan bagawan Mintaraga atau bagawan Ciptaning yaitu nama Arjuna saat menjadi pertapa. Sebagai imbalan jasa karena bagawan Ciptaning berhasil membunuh Raksasa Nirwatakawaca diberi hadiah Dewi Supraba dan Pusaka Pasopati. Disini terlihat bahwa kebenaran yang bersifat mutlak hanya dimiliki Dewa Tertinggi yaitu Hyang Suksma Kawekas. Ajaran ini tidak jauh berbeda dengan ajaran yang terkandung di dalam sila Ketuhanan Yang Maha Esa
* Asas Kemanusiaan.

Jiwa yang terkandung dalam sila Kemanusiaan, pada hakekatnya suatu ajaran untuk mengagung-agungkan norma-norma kebenaran. Bahwasanya kebenaran adalah di atas segala- galanya. Kendatipun kebenaran mutlak hanya berada di tangan Tuhan Yang Maha Esa, namun untuk menjaga keseimbangan kehidupan antara manusia perlu dipupuk kesadaran tenggang rasa yang besar.
Kebenaran yang sejati mempunyai sifat unifersil, artinya berlaku kapan saja, dimana saja dan oleh siapapun Juga. Tokoh dalam dunia pewayangan yang memiliki sifat dan watak mengabdi kebenaran banyak jumlahnya. Sebagai contoh dapat dipetik dari Serat Ramayana. Di dalam Serat Ramayana dikenal putera Alengka bernama Raden Wibisono yang mempunyai watak mencerminkan ajaran kemanusiaan.
Kisah inti dalam Serat Ramayana berkisar pada kemelut yang terjadi di antara Prabu Dasamuka yang merampas isteri Rama. Tindakan Prabu Dasamuka ini dinilai berada diluar batas kemanusiaan. Raden Wibisono sadar akan hal tersebut, Prabu Dasamuka dianggap melanggar norma perikemanusiaan . Oleh karena itu Raden Wibisono ikut aktif membantu Raden Rama untuk memerangi saudaranya sendiri. Demi kemanusiaan Raden Wibisono rela mengorbankan saudara sendiri yang dianggap berada difihak yang salah.
* Asas Persatuan

Dalam dunia pewayangan tokoh yang memilih jiwa kebangsaan tinggi terlukis pada diri tokoh Kumbakarna digambarkan dalam bentuk raksasa, namun memiliki jiwa ksatria. Sebagai adik Raja Dasamuka, Kumbakarna memiliki sifat yang berbeda. Kumbakarna menentang tindakan Prabu Dasamuka yang merampas Dewi Sinta isteri Rama.
Sikap menentang sama dengan sikap Raden Wibisono, tetapi jalan yang ditempuh berbeda. Raden Wibisono menentang dengan aktif memihak Raden Rama, tetapi Kumbakarna tetap berfihak Alengka demi negaranya. Niatnya bukan perang membela kakaknya, tetapi bagaimanapun juga Alengka adalah negaranya yang wajib dibela walaupun harus mengorbankan jiwa raga.
Oleh karena itu nama Kumbakarna tercanang sebagai nasionalis yang sejati. Benar atau salah Alengka adalah negaranya.
* Asas Kerakyatan / Kedaulatan rakyat.

Dalam dunia pewayangan dikenal tokoh punakawan yang bernama Semar. Semar adalah punakawan dari para ksatria yang luhur budinya dan baik pekertinya. Sebagai punakawan Semar adalah abdi, tetapi berjiwa pamong, sehingga oleh para ksatria Semar dihormati.
Penampilan tokoh Semar dalam pewayangan sangat menonjol. Walaupun dalam kehidupan sehari-hari tidak lebih dari seorang abdi, tetapi pada saat-saat tertentu Semar sering berperan sebagai seorang penasehat dan penyelamat para ksatria disaat menghadapi bahaya baik akibat ulah sesama manusia maupun akibat ulah para Dewa. Dalam pewayangan tokoh Semar sering dianggap sebagai Dewa yang ngejawantah atau Dewa yang berujud manusia. Menurut Serat Kanda dijelaskan bahwa Semar sebenarnya adalah anak Syang Hyang Tunggal yang semula bernama Batara Ismaya saudara tua dari Batara Guru.
Semar sebagai Dewa yang berujud manusia mengemban tugas khusus menjaga ketenteraman dunia dalam penampilan sebagai rakyat biasa. Para ksatria utama yang berbudi luhur mempunyai keyakinan bilamana menurut segala nasehat Semar akan mendapatkan kebahagiaan. Semar dianggap memiliki kedaulatan yang hadir ditengah-tengah para ksatria sebagai penegak kebenaran dan keadilan. Dengan kata lain Semar adalah simbul rakyat yang merupakan sumber kedaulatan bagi para ksatria atau yang berkuasa.
* Asas Keadilan Sosial

Unsur keadilan dalam dunia pewayangan dilambangkan dalam diri tokoh Pandawa. Pandawa yang terdiri dari Puntadewa, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa secara bersama- sama memerintah Negara Amarta. Kelimanya digambarkan bersama bahagia dan bersama-sama menderita Tiap-tiap tokoh Pandawa mempunyai ciri watak yang berlainan antara satu dengan lainnya, namun dalam segala tingkah lakunya selalu bersatu dalam menghadapi segala tantangan. Puntadewa yang paling tua sangat terkenal sebagai raja yang adil dan jujur ; bahkan diceriterakan berdarah putih. Puntadewa dianggap titisan Dewa Dharma yang memiliki watak menonjol selalu mementingkan kepentingan orang lain, rasa sosialnya sangat besar.

Di ruang Pameran Tetap Museum Negeri Propinsi Jawa Timur Mpu Tantular juga menampilkan Koleksi Wayang Koleksi Wayang bisa dilihat di Ruang VII yaitu Ruang Koleksi Kesenian

Jenis Koleksi Wayang yang dipamerkan:

1. Wayang Gedog
Koleksi yang dipamerkan:
1. Raden Panji Inukertapab
2. Raden Panji Sinompradopo
3. Bancak
4. Doyok
5. Prabu Lembu Amiluhur
6. Aryo Joyosasono
7. Aryo Joyonagoro
2. Wayang Purwo Jawa timur
Koleksi yang dipamerkan:
1. Puntodewo
2. Arjuno
3. Werkudoro
4. Kresno
5. Sencaki
6. Suyudono
7. Sengkuni
8. Dursosono
9. Bolodewo
10. Karno
3. Wayang Purwo Jawa Tengah
Koleksi yang dipamerkan:
1. Puntodewo
2. Arjuno
3. Nakulo
4. Sadewo
5. Werkudoro
6. Kresno
7. Suyudono
8. Dursosono
9. Indrajid
10. Kombokarno
4. Wayang Kulit Bangkalan
Koleksi yanq dipamerkan:
1. Rama
2. Sinta
3. Lesmana
4. Sugriwa
5. Anoman
6. Dasamuka
7. Trijata
8. Sarpakenaka
9. Indrajid
10. Kombokarno
5.
1. Wayang Klitik Purwo
Koleksi yang dipamerkan:
1. Narodo
2. Durno
3. Jembawan
4. Bolodewo
5. Brotoseno
6. Kombokarno
2. Wayang Klitik Damarwulan
Koleksi yang dipamerkan:
1. Minakjinggo
2. Dayun
3. Browijoyo
4. Damarwulan
5. Layang Seto
6. Layang Kumitir
7. Noyo Genggong
6.
1. Wayang Golek Purwo
Koleksi yang dipamerkan:
1. Anoman
2. Bimo
3. Bodronoyo
4. Sumantri
5. Prahasto
6. Bolodewo
2. Wayang Golek Damarwulan
Koleksi yang dipamerkan:
1. Layang Kumitir
2. Patih Logender
3. Kencono Wungu
4. Damarwulan
5. Anjasmoro
6. Puyengan
7. Patih Tuban
8. Dayun
3. Wayang Golek Menak
Koleksi yang dipamerkan:
1. Dewi Rengganis
2. Umarmoyo
3. Umarmadi
4. Patih Abdullah Akbar
5. Raja Lamdaur
6. Menak Jayengrono

Sumber :diambil dari buku Nawasari Warta, Oktober 1994

Rabu, 03 Juni 2009

SI KABAYAN MORO UNCAL
Resensi ;

Isuk kénéh si Kabayan jeung mitohana geus harudang, lantaran poé éta rahayat rék moro uncal.
Urang kampung geus saraged, make calana sontog, samping di beubeurkeun kana cangkéng, bedog panjang nyolegréng. Sawaréh marawa tumbak. Anjing rageg geus hayangeun geura ngudag boroan ka leuweung.
Nénjo batur saraged téh si Kabayan mah teu ieuh kapangaruhan. Manéhna mah ngaléléké, make sarung di kongkoyangkeun. Batur-batur marawa bedog, manéhna mah kalah mawa péso raut.
“Keur naon mawa péso raut, Kabayan?” tatanggana nanya. “Keur nyisit uncal,” témbalna.
Nu rék moro laju arindit. Tepi ka leuweung, der ngasruk. Anjing rageg ti kulon, ti kalér, ti wétan. Jalma-jalma pating corowok. Nu megat ayana di Beulah kidul, lebah bubulak.
Ari si Kabayan misahkeun manéh. Manéhna mah nangtung handapeun tangkal jambu batu bari tatanggahan, néangan jambu asak. Keur tatanggahan, gorowok nu ngagero, “Pegaaat…!”
Si Kabayan ngalieuk. Ari torojol téh ti jero rungkun, uncal jaluna. Tandukna ranggah.
Si Kabayan can nyahoeun uncal. Ceuk pangirana uncal téh sagedé anak embé. Nu matak barang nénjo sato nu siga kuda bari tandukan téh, ngan térékél waé manéhna naék kana tangkal jambu. Teu bias luhur naékna téh da kagok ku sarung. Manéhna nangkod kana dahan panghandapna, sarungna ngoyandon. Kabeneran uncal téh lumpat ka handapeunana pisan. Si Kabayan peureum, sieuneun kaparud tanduk uncal nu sakitu ranggahna.
Si Kabayan teu kira-kira reuwaseunana barang aya nu ngabedol ti handap. Ari diténjo, horéng tanduk uncal téh meulit kana sarungna, uncal ngarengkog, tuluy babadug haying ngalésotkeun tandukna. Kadéngé ambekeunana hoshosan. Si Kabayan beuki pageuh muntangna, uncal beuki rosa ngamukna, tapi tandukna kalah beuki pageuh kabeulit ku sarung. Si Kabayan beuki geumpeur, sepa taya getihan.
“Tuluuung.., tuluuung.., ieu aing ditubruk uncaaal..!!” si Kabayan gegeroan ménta tulung.
Teu lila burudul nu moro nyalampeurkeun. Nénjo uncal abrug-abrugan téh, teu antaparah deui belewer wé ditumbak. Uncal ngajéngjéhé. Jekok-jekok pada ngadékan tepi ka rubuhna. Uncal ngajoprak, si Kabayan ogé ngalungsar gigireunana bari rénghap ranjug.
Nu ngariung uncal hélokeun. “Kumaha ditéwakna uncal sakieu badagna Kabayan?”
Si Kabayan nangtung lalaunan bari cengar-cengir. “Ah., gampang. Uncal méngpéngan ka handapeun tangkal jambu, ku kuring dipegat. Barang geus deukeut, dirungkup wé tandukna ku sarung. Tuh gening sarungna ogé tepi ka rangsak saroéh. Geus karungkup mah teu hésé, kari marieuskeun wé tandukna.”
Saréréa gogodeg. Ari si Kabayan padamuji téh nyéréngéh wé bari ngusapan tuurna nu bararéd.
Uncal pada ngarecah. Si Kabayan balik ngajingjing pingping uncal bari héhéotan.
Dicutat tina Carpon Mangle.


Kasimpulan :

Si Kabayan nyaéta hiji tokoh/karaktér rahayat urang sunda. Manéhna ngabogaan watek bodo tapi pintér, dicirian ku gaya sorangan, nyaéta beuki heureuy, humoris, tara ngambeuk, tapi sok salah ku paripolah sorangan.
Judul : Silang Sigeu
Pengarang : M. Sasmita
Penerbit/ thn : Cupumanik/ Oktober 2006

Aya hiji awéwé jeung lalaki, maranéhna boga landihan masing-masing. Nu lalaki sok disebut silang (si belang), sabab pas dina waktu janjian rék papanggihan manéhna maké baju belang. Ari nu awéwé sok dilandih sigeu (si geulis), sabab pada can nyaho ngaran aslina. Maranéhannana bisa panggih téh, sabab si Silang unggal malem saptu sok ngadéngékeun radio, jeung sok ngahaja néangan sora penyiar awéwé tuluy si Silang ngawawanikeun manéh ngajak wawanohan nepi ka janjianna.
Geus sataun leuwih maranéhna wawuh téh. Pleng wé….sababaraha taun teu panggih. Dina hiji waktu nya éta poé minggu sabuat ngajak ulin budakna, si Silang ujug-ujug aya nu ngageroan bari nepak kanu taktakna “Silang….?!”. si Silang reuwas, sabab nu ngalandih manéhna silang mah ngan si Sigeu hungkul. Tuluy maranéhna ngobrol di tukang mie kocok, sabab mie kocok téh karesepna si Sigeu. Maranéhna patuker nomor telepon jeung sérélék (serat éléktronik, email téa) geus kitu maranéhanna papisah, sabab budak si Silang ngangajak balik waé.
Peutingna si Silang mukaan email. Kunaon bet peuting? Cenah mah, sabab kahiji ngoprék computer teu kaganggu ku budak, kadua sugan wé bakal leuwih cepet, katiluna sugan wé mayar teleponna rada murah. Pas dibuka loba sérélék nu asup, salah sahijina ti si Sigeu. Manéhna nyaritakeun keur basa manéhna pisah jeung si Silang. Tuluy wé si Silang ngabales sérélék ti si Sigeu. Berbagi pengalaman.

Nama : Eva Siti Nurjanah
NPM : 180210060009
Judul : RUSIAH
Pengarang : Holisoh MÈ
Penerbit : Cupumanik/ Oktober 2006

Hiji lalaki nu geus boga pamajikan keur bungah, sabab anyar boga budak. Manéhna diurus ku indungna jeung bapa téréna, sabab ti manéhna orok gé geus diurus ku bapa téréna.
Dina hiji waktu, manéhna ngadéngékeun ti luar imahna. Ceulina diantelkeun kana bilik imahna. Aya indung jeung bibina keur ngaromongkeun manéhna. Awalna mah ngomongkeun yén éta budakna téh siga akina, mun ceuk indungna mah ‘siga si nurustunjung’. Manéhna tuluy ngadéngékeun, sabab manéhna haying nyaho saha bapa nu tegesna.
Malah keur manéhna SMP mah, manéhna téh pernah kabur ti imah, kaluar ti sakola jeung sok mabok, kusabab manéhna haying nyaho saha bapa tegesna. Sababaraha bulan manéhna tara panggih jeung indung. Geus mangbulan-bulan teubalik aya emangna nyusulan ngajemput, ngabéjakeun yén indungna téh keur gering parna. Manéhna daék balik ka imah milu ka emangna.
Nepi di imah manéhna éling, sadar langsung ngedeprek di hareupeun indungna nu keur ngagoler. Manéhna janji ka diri manéhna rék robah. Manéhna embung nyeri hatékeun deui indungna. Manéhna hayang némbongkeun kahadéan dina waktu pas manéhna panggih jeung bapa tegesna.
Dina waktu manéhna suksés, pas keur sukuran anakna bapa tegesna nepungan. Mimitina mah manéhna embung ngahampura, sabab geus ngantep manéhna jeung indungna, jeung geus nyieun manéhna kabur ti imah. Tapi manéhna mikir deui ‘piraku moal ngahampura mah!’. Manéhna karunyaeun ninggali kaayaan bapana nu geus teu mararatut dina awak jeung pakéannana.

Nama : Eva Siti Nurjanah
NPM : 180210060009
Judul : Ulin Ka Lembur Kuring
Pengarang : Sarah Aini
Penerbit / thn : Cupumanik/ 2006

Ulin Ka Lembur Kuring
Lembur Kuring téh patempatan nu aya di wewengkon kota Bandung Beulah kalér, kaasup ka kalurahan Babakan Siliwangi, Kacamatan Coblong.
Harita téh poé saptu, sarta kabeneran hade poéna. Abdi sareng réréncangan saparantos bubar sakola ngahaja ngarumpul hela di buruan sakola, lantaran tos pasini rek ngadon botram di Lembur Kuring.saparantos dugi ka tempat nudijug-jug, abdi sarebg réréncangan bar waé namparkeun samak saheulay anu ngahaja kénging ngabantun. Neraskeun lalampahan, abdi sareng réréncangan teu weléh muji sukur ka Nu Agung, anu parantos nyiptakeun alam katut sadaya eusina.
Keur jongjon ningal pamandangan di sawah, naha atuh ari….gebrug aya nu labuh pengkereun. Barang dirérét singhoreng jang Adi deui waé ayeuna mah tikoséwad dna galengan sawah meunang mopok patani.
Nama : Dewi Siti Astuti
Npm : 180210060016


Judul : pélét Maronggé
Pengarang : Rangga Gumilang
Penerbit / Thn : Seni Budaya / 2005

Pélét Maronggé
Raheut manah ku pamget , nu ngjurung Gabug apruk-aprukan milari babakan geusan nyingkahan nu ngararajét atina. Nyai Gabug disarengan ku tilu rayina, Setayu, Naibah, Nidah. Taya nu terang, saha lalaki nu tos ngaraheutan manah Nyai Gabug.
Nyai Gabug anjog ka hiji pasir di tungtung lembur Babakan. Saterasna Nyai Gabug bubura, ngadengekeun tempat pamatuhan. Wartos ngeunaan Nyai Gabug kalih rayina gancang pisan ngbalabar kawat, ibur salembur éar sadésa, yén di pasir Babakan aya opat widadari sasab. Para pangeusi kampong, upamina kaum pameget teu sirikna ngaleut ngagkeuy ngabandaleut muru ka pair Babakan.
Nyai Gabug malidakeun kukuk kawalungan Cilutung. Saterasna Nyai Gabug munut sangka éta kukuk dibalikeun deui ngalawan cai nu ngamalir. Raja Gubangkala ngaranju, wiréh tanjakan Nyai Gabug téh kalintang abot. Malah sok sanaos Raja Gubangkala sumerah, taluk kalayan heneu sanggup nedunan tanjakan Nyai Gabug. Demi Nyai Gabug, manahoréng ku kalinuhungan pangaweruhna, tiasa malikeun deui kukuk.
Taya nu henteu ta’jub nyakskaampuhan élmuna Nyai Gabug. Éta kajadian anu jadi sasakala kamashurna “pélét si kukuk mudik”.
Nama : Dewi Siti Astuti
Npm : 180210060016
Judul : Harga Kasatiaan
Pengarang : Tetty Suharti
Penerbit/ Thn : Kanagan (Kumpulan Carpon Pinilih Manglé)/ 2003

Aya hiji kulawarga, nyaéta indung (Nunung), bapa (Jajang), jeung anakna tilu (Titin, Nining jeung Ade). Nu loba ngabélaan kulawarga téh indungna. Timimiti néangan nafkah, ngurus budak, nepi ka bébérés imah kusorangan, paling nu minangka sok mantuan téh anak nu panggedéna sok ngurus atawa ngamandian adi-adina.
Dina hiji waktu pas hudang saré tibeurang Nunung ngarasa lieur, teu rada lila batuk ujug-ujug kaluar getih. Manéhna mikir sieun TBC. Di imah euweuh sasaha. Pas salakina datang Nunung langsung bébéja. Salakina euweuh rasa hariwang komo perhatian kanu jadi pamajikan. Malah dijauhan jiga nu sieun katépaan. Saméméh Nunung saré, Nunung omat-omatan ka salakina haying ditungguan nepi ka manéhna hudang. Tapi pas Nunung hudang salakina nyampak euweuh, Nunung ngan bisa kukulutruk sorangan.
Isukna salakina ngajak ka dokter, méh puguh ceunah naon panyakitna. Tisaprak balik ti rumah sakit, salakina beuki ngajauhan manéhna. Timimiti saré sok jeung budak-budakna waé nepi ka urut dahar Nunung sabangsa piring, séndok jeung gelasna sok di léoban. Dinu saré barengna gé sok nonggongan bari dibuntel da sieun katépaan.
Hiji waktu Nunung kesel ninggali kalakuan salakina jiga kitu. Nunung paséa jeung salakina. Nunung nanya ka salakina “Mana harga kasatiaan salila ieu téh?”. Saking ku keselna Nunung mawa budak nu bungsu nyingkah ti imah kontrakan éta.
Nama : Eva Siti Nurjanah
NPM : 180210060009

Judul : Manéhna Lain Musa
Pengarang : Dédé Syafrudin
Penerbit/ Thn : Kanagan (Kumpulan Carpon Pinilih Manglé)/ 2003

Dina tumpukan sampah disela-sela gedong pencakar langit, manéhna cicing. Digembrong laleur, unggal jelema ngaliwat sok nutupan irung. Manéhna sok disebut janin. Janin nu geus dipiceun ka wadah runtah. Manéhna teu dipikahayang ku jelema nu geus nyalahan tina norma-norma.
Teu rada lila aya kopéah nu dipiceun cicing deukuet janin. Kopéah nu dipiceun éta ngobrol jeung janin. Janin nanya “ti mana asal anjeun?”. Tuluy wé Si kopéah téh nyarita. Si kopéah nyarita yén manéhna milik salah saurang guru agama. Si kopéah tara leupas ti sirah guru agama téa. Tapi saeunggeus guru agama éta maot si kopéah diteundeun di gudang mangtaun-taun, pas anakna bébérés manéhna dipiceun.
Si kopéah loba nyaritakeun pangalaman nu geus miboga manéhanana. Tapi anu paling nyieun janin éta merhatikeun waé téh, pas Si kopéah nyarirtakeun Nabi Musa. Nyaéta dongéng ngeunaan orok anu dipalidkeun ka walungan ku indungna pikeun nyingkahan balai jalma-jalma anu hayang nyilakakeun.
Saeunggeus lila ngobrol Si kopéah aya nu mulung ku gelandangan. Sedengken manéhna mah dibawa ku anjing. Rébuan laleur héjo haliber. Basa anjing éta ngagégél kantong palastik hideung anu ngabulen manéhna, tuluy digusur ngajauhan wadah runtah. Manéhna gumbira, “Ambu? Ambu…! Ambu…” ceuk manéhna.

Nama : Eva Siti Nurjanah
NPM : 180210060009



Judul : Sarpani Oray
Pengarang : Empu Surawinata
Penerbit/ Thn : Kanagan (Kumpulan Carpon Pinilih Manglé)/ 2003

Kacaritakeun aya hiji jalema nu pinter, nu nyaho kana oray ngaranna nyaéta ngaranna Sarpani. Manéhna pinter newak oray, nyingkeun oray. Rupa-rupa oray sok bisa ditaklukeun ku manéhanana mah. Ceunah jangjualeun deui kulitna, cenah ogé sok dikilo.
Aya hiji jalema nu ngadatangan Si Sarpani. Rék ngahuma cenah, tapi sieun loba oray. Méta bantuan wé ka Si Sarpani sangkan sabuat manéhna ngahuma mah oray téh euweuh nu datang, teu ngaganggu kanu ngahuma. Si Sarpani daék mantuan.
Disiapkeun wé menyan jeung ci hérang, da saacanna éta téh pamenta Si Sarpani. Menyan dihurungkeun bari dikunyem-kunyem heula ku Si Sarpani téh. Tuluy Si Sarpani ngulilingan sawah bari mamawa menyan. Geus kitu mah nyingkah wé Si Sarpani téh bari dikeupeulan duit.
Sabuat ngahuma, aya nu manggihan oray, orayna téh leuleus begang, jiga peta mesin tik cenah. Tuluy ngageroan Si Sarpani, naha bet bisa jadi kitu éta oray téh. Si Sarpani ngajelaskeun pan ku urang geus dijampéan sangkan teu bisa pucak-pacok.
Geus kitu teu rada lila aya nu néangan Si Sarpani. Ngajelaskeun yén pamajikannana sok méwék teu boga duit, tuluy paré béak dihakanan beurit. Ti saprak Si Sarpani sok ngala oray, di kampungna jadi tara aya oray. Paré-paré sok béak ku beurit.
Nama : Eva Siti Nurjanah
NPM : 180210060009
1. Judul buku : Teu Pegat Asih
Karangan : Soeman Hs.
Penerbit : Kiblat

Ieu novel didongéngkeun deui kana basa Sunda ku Moh. Ambri. Moh. Ambri ogé tos tiasa mindahkeun suasana “deungeun kana suasana anu keuna kana kabiasaan orang sunda, bari teu aya nu robah “kadeungeunana”. Salah sahiji subangsih mangrupa karya asli pikeun kesusastraan Sunda.
Isi carita novel “Teu Pegat Asih”; nyaéta:
Aya jajaka pangawakanana pendék leutik, jangkungna ogé sed baé ti saméter satengah, tapi umurna mah geus kolot, leuwih ti dalapan welas taun. Ngaranna Si Taram, manéhna téh budak kukut Tua-kampung. Asalna mah ti Singapur, dibawana ti ditu téh karak bubulanan umurna. Sanggeus asup Islam, Si Taram jadi réa kawawuhan.
Di deukeut imahna, aya béntangna éta kampung. Nurhaida ngaranna. Si Taram bogoh ka éta wanoja. Nepi kagégéloan, dugi jinisna ditanya. Kabeneran ituna puruneun. Ngan hanjakal, lamaran Tua-kampung teu ditarima ku kolot Nurhaida. Lantaran cek Nini Tijah téa mah, Encé Abas - bapana Nurhaida – luhur teuing pamakanan.
Dugi Taram mawa minggat Nurhaida ka Singapur, bari didituna dikawin ku Si Taram. Menang sebeberaha taun ngajalanan rumah tangga nu can menang restu, Nurhaida minggat ti salakina balik ka lemburna deui. Untung can batian, jadi pas resmi randa, loba pisan nu masih hayangeun ngan angger bapa na luhur teuing pamakanan. Aya pangumbara ti Arab ngajual obat di lembur éta, manehna ngarana Syékh Wahab.kakara sabaraha poé di dinya tuan Syékh geus kautara ka saeusi lembur. Lain ku barang dagangna tapi ogé ku kaalimanana. Tuan Syékh ngalamar ka nyi randa, bapana nyatujuan. Persiapanna ogé meni alus, jiga parawan nu rék dikawinkeunana. Geus resmi jadi salaki Nurhaida, dina lebaran éta Syékh robah jadi Ki Taram. Lalaki nu geus pernah jadi salakina.


2. Judul buku : Mercedes 190
Karangan : Muh. Rustandi Kartsakusuma
Penerbit : Girimukti Pasaka

Dina novel “Mercedes 190” nyaritakeun kahirupan rumaja dijamanna.
Lalaki anu mamerkeun kabeungharan jang menangkeun wanoja-wanoja nu nurut dikumaha-kumahakeun. Manehna nu miboga hiji-hijina mobil mersedes 190 sa-Bandung, ngaranna Dudung. Manehna unggal poe ngalakukeun Operasi Sapu Jagat dibaturan ku babaturan nu paling satia nyaeta Jaja. Euweuh hiji mojang nu teu bau bengsin, kitu kayakinanan Dudung nepi ka panggihan jeung Nenden.
Nenden hiji mojang nu kakara nolak diajak ku Dudung, milih naek beca tibatan ngilu naek mobil Mercedes 190. Ti saprak harita Dudung teu bias mopohokeun kajadian eta sareng emut wae kanu namina Nenden. Dugi ngahajakeun ngadamel sandiwara jeung bias patepung sareng Nenden. Kabeneran Jaja boga babaturan di fakultas kedokteran nu ngarana Liesye. Liesye sareng Jaja ngahaja ninggalkeun Nenden sareng Dudung ambeh bias duan. Ti barang kajadian eta Dudung bias deukeut jeung Nenden.
Hiji poe Dudung nganterkeun balik Nenden teu make mobil tapi beca. Sapanjang jalan Dudung ngluarkeun eusi hatena ka Nenden. Tapi Nenden nu malik bingung kudu kumaha ngawaler sadaya pertanyaan nu diajukeun ku Dudung. Padahal Nenden teu resep kana kalakuanna nu tos katelah playboy sa-Bandung. Ku kadeukeutan yeuna wae geus teu nyaman jang Nenden mah, ngan saukur ngahargaan wungkul. Sateu acan lebet ka bumi Nenden miwarang Dudung kanggo ameng ke enjingna ka bumina. Tapi teu lila Nenden nelepon yen isuk tong jadi soalana Nenden bade ngapalkeun kanggo prektek kimia.
Dudung langsung mangkat ka imahna Nenden, tapi ti saprak nepi Nenden jiga nu ambek ka Dudung. Asa teu di hareupkeun datang, Dudung balik deui ngan karek dugi jalan ya nu ngajeit. Langsung wae Nenden nyameurkeun ka Dudung, hampir wae Dudung ka serempet ku tangga beusi dina mobil pagawai listrik. Tapi teu kunanaon, langsung wae dibawa ka jero imah. Didinya Dudung jangji rek jadi anu dipikahayang ku Nenden, rek robah palipolah jadi bener. Ti barang harita oge Nenden ngarasa Cinta ka Dudung.

4. Judul buku : Jurig Paséa jeung Nyi Karsih
Karangan : Tini Kartini
Penerbit : Kiblat

Awéwé nu ngalakonan dina carpon-carpon Téh Tini, seueurna ngenaan pangalaman anu teu pikabungaheun. Dina “Jurig”, Nyi Iyot téh kapan dinyenyeri ku salakina, anu antukna kawas nu kurang saeundan. Kitu deui dina “Ondangan”, si “kuring” ngarasa geus nyieun dosa pédah boga salaki ka urut kabogoh babaturanana. Atuh dina “Sial” si “kuring” kawiwirangan basa gelungna murag hareupeun jalma réa, cara si “kuring” dina “Di Lembur” anu kanyahoan ku ibu-ibu yén manéhna teu bisa ngaji. Ari dina “Paséa”, Mari nu boga lalakon kacida teu ngeunah pédah dipitenah ku Emin, sobatna pisan, pajar boga niat haying ngarebut salakina. “lajang Baheula” gé dina jero-jerona mah ngandelkeun kasusah “Inggin” keur ngora nu kudu daék dihukum ku aki-aki sakumaha pamundut Juragan Dalem. Sok komo dina “Nyi Karsih” mah, kapan tokoh Nyi Karsih anu dipaksa ngawulaan kapalay Juragan Dalem téh antukna mah nepi ka luas nelasan manéh.
hilfia budi astuti
10060003